Oleh Dimas N. Hartono
dari Simpul Jaringan Pantau Gambut

Kalteng kini sedang menjadi sorotan pemerintah pusat, khususnya terkait dengan rencana percetakan sawah untuk pembangunan lumbung pangan. Rencana ini bergulir setelah peringatan dari Food and Agriculture Organization (FAO) pada Maret 2020. Meski sebelumnya pemerintah menyatakan dengan tegas bahwa pangan Indonesia mengalami surplus.

Pembangunan cetak sawah ini, berbanding terbalik dari statement yang kerap dikeluarkan oleh pemerintah pusat sebelum pendemi corona (covid-19) masuk ke Indonesia.  Jauh sebelum peringatan yang dikeluarkan oleh FAO, pada Desember 2019, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyatakan, ketersediaan pangan nasional aman hingga Maret 2020. Ia menyatakan bahwa terjadi overstock mencapai angka 4 juta ton.

 

Di tengah pandemi Covid-19 pemerintah kemudian menggunakan isu krisis pangan sebagai satu alasan untuk mempercepat proyek pencetakan sawah di Kalteng, di eks Proyek Lahan Gambut sejuta hektar yang merupakan tonggak sejarah kerusakan gambut yang tidak terpulihkan dan menjadi sumber bencana lingkungan. Salah satunya adalah kebakaran hutan lahan gambut yang terjadi hampir dua dekade terakhir.

 

Tentu saja rencana pembangunan cetak sawah yang tiba-tiba dikeluarkan oleh Presiden Jokowi, mendapatkan sorotan dari berbagai pihak. Kelompok masyarakat sipil bahkan membuat pernyataan sikap, yang didukung oleh 163 organisasi maupun perorangan.

 

Penolakan masyarakat sipil memiliki dasar yang cukup kuat, selain akan merugikan keuangan negara dan kerusakan ekosistem, ketimpangan penguasaan lahan semakin tinggi dan konflik tanah terus meningkat di wilayah ini. Hal ini disebabkan dengan adanya kebijakan pemerintah yang memberikan izin untuk perkebunan sawit di sebagian besar eks-PLG bahkan menabrak aturan tata ruang dan kebijakan lainnya, karena izinnya berada kawasan hutan dan fungsi lindung gambut dan atas pelanggaran di depan mata tersebut tidak dilakukan penegakan hukum oleh pemerintah.

 

Hal ini telah meningkatkan konflik lahan dan merampas tanah masyarakat adat serta menghancurkan sistem pertanian seperti handil, tatah, beserta tabat dan perikanan tradisional seperti Beje. Juga turut hilang sistem adat dan kearifan lokal lainnya sebagai bentuk pertanian/perladangan kolektif yang berkembang di masyarakat adat selama ini. Penempatan transmigrasi juga telah mengubah struktur sosial dan model kepemilikan lahan di beberapa wilayah dengan mempertentangkan antara sertifikat tanah dan tanah adat juga menjadi salah satu pemicu konflik lahan di wilayah ini.

 

Bukannya mendengar kritikan dan mengambil pembelajaran kegagalan dari PLG di tahun 1998, pemerintah justru terus membangun proyek food estate dan memasukkannya sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional. Padahal, belum ada kajian kuat yang menunjukkan bahwa pembangunan food estate di lokasi yang sama tidak akan mengulang kegagalan yang sama.

 

Meskipun mendapatkan kritikan dari berbagai pihak, pembangunan Food Estate di Kalteng terus berjalan. Kementerian PUPR, Basuki Hadimuljono menyatakan, kunci dari program pengembangan food estate di Provinsi Kalteng adalah penyediaan air untuk irigasi areal sawah, terutama pada lahan potensial seluas 165.000 hektare yang merupakan kawasan aluvial, bukan gambut, pada lahan Eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG). Dari 165.000 hektare lahan potensial tersebut seluas 85.500 hektare merupakan lahan fungsional yang sudah digunakan untuk berproduksi setiap tahunnya. Sementara 79.500 hektare sisanya sudah berupa semak belukar sehingga perlu dilakukan pembersihan (land clearing) saja, tanpa perlu dilakukan cetak sawah kembali. Khusus untuk peningkatan irigasi, diperkiraan kebutuhan anggaran sebesar Rp 2.9 triliun untuk tahun 2021 dan 2022. Menurut Mentan, lumbung pangan baru di Kabupaten Kapuas direncanakan menempati lahan potensial seluas 20.704 hektare. Dari jumlah tersebut, lahan yang telah fungsional mencapai 5.840 hektar. Sedangkan untuk Kabupaten Pulang Pisau luas baku sawah di Kabupaten Pulang Pisau sebesar 27.133 hektar dan sudah diolah sebesar 12.255 hektar. Terjadi perbedaan dengan pernyataan PUPR.

 

Dalam siaran pers nomer : SP.301./HUMAS/PP/HMS.3/7/2020 tertanggal 17 Juli 2020, wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Alue Dohong menggarisbawahi bahwa Food Estate tidak sama dengan cetak 1,4 juta hektar sawah di eks PLG. Kemudian, rencana Food Estate yang dikembangkan pemerintah lebih terintegratif dengan pemulihan gambut.

 

Belum ada Kebijakan Food Estate di Kalteng

Pasca Presiden Jokowi menyatakan untuk membangun cetak sawah di Kalteng, hingga saat ini tidak ada peraturan yang telah dikeluarkan oleh Presiden dalam pembangunan food estate. Mengaca pada pembangunan cetak sawah maupun food estate sebelumnya terdapat aturan yang dikeluarkan, seperti contoh pembangunan pengelolaan lahan gambut satu juta hektar pada orde baru, Presiden Soeharto menerbitkan Keputusan Prsiden (Keppres) Nomor 82 tahun 1995. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mendorong Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) melalui PP No 26/2008, Perpres 5/2008, PP No 18/2010 dan terdapat 1,23 juta ha yang akan dikembangkan, meskipun kedua proyek ambisius tersebut gagal tetapi memiliki dasar hukum yang jelas.

 

Dalam Perpres Pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Nomer 18 tahun 2020 untuk periode 2020-2024 tidak ada arah kebijakan untuk ketahanan pangan di Provinsi. Melainkan untuk terlaksananya reforestasi seluas dua juta hektare dan restorasi ekosistem gambut seluas 1,5 juta hektare dari tahun 2015, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Moratorium Gambut.

 

Terkait dengan pengembangan food estate cetak sawah di Kalteng, baru dimasukkan ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Hingga saat ini, proyek strategis nasional tersebut belum terbit peraturan presidennya.

 

Seharusnya pemerintah mengubah secara radikal sistem pertanian dan penggunaan lahan skala luas dengan menjalankan Reforma Agraria sejati, dan orientasi pemenuhan berbasiskan pada kedaulatan pangan dan kearifan lokal untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan alam dalam jangka panjang.

 

Dalam jangka waktu saat ini pemerintah seharusnya melakukan diversifikasi pangan dan mengembangkan pangan lokal yang tersebar di berbagai belahan negeri di Indonesia dan melakukan intensifikasi di lahan-lahan yang cocok atau di lahan eks Hak Guna Usaha (HGU)/ tanah terlantar di tanah mineral yang tidak dikelola oleh perusahaan untuk mengoptimalkan produksi pangan dan melakukan mekanisasi teknologi bagi petani, bukan di lahan gambut yang terbukti produktivitasnya rendah dan membutuhkan teknologi yang mahal.

 

Sisi lain, pemerintah juga melakukan pengakuan, perlindungan dan identifikasi lokasi lahan pertanian dan perladangan masyarakat secara menyeluruh yang saat ini masih masuk kedalam kawasan hutan, terancam dengan adanya investasi, berapa luasannya, apa saja jenis pangannya, berapa jumlah produksinya serta juga melindungi benih-benih local yang saat ini juga terancam akan punah.

 

 

*Penulis adalah Dirketur Walhi Kalteng dan Kooordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Kalteng

 

**TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN DI MEDIA CETAK KALTENG POST (HALAMAN 4) PADA TANGGAL 1 AGUSTUS 2020 DAN RADAR SAMPIT (HALAMAN 5) PADA TANGGAL 10 AGUSTUS 2020**

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.