Integrasi aspek ekologi dan sosial dalam pemanfaatan lahan gambut
Oleh PantauGambutRobani menuturkan, saat ini masalah petani bukan hanya ketersediaan alat produksi dan lahan pertanian. Tapi, juga soal pengelolaan lahan atau bercocok tanam hingga setelah panen. Itulah yang membuat petani kelimpungan, karena program pemerintah cenderung tak menyentuh masalah yang sesungguhnya. “Katakanlah bantuan bibit unggul, tapi di sisi lain, (harga) pupuk mahal,” ujarnya Petani pun kesusahan untuk mendapat subsidi pupuk.
Ia menambahkan, saat masa panen nilai jual gabah dan beras menurun, sehingga timpang dengan biaya produksi. “Ini biaya produksi dan hasil terkadang minus,” tutur Robani.
Belum jelas solusi pemerintah untuk memperbaiki nasib petani agar berdaulat dengan hasil bertani, kini ada proyek nasional lumbung pangan atau food estate. Petani menyambut food estate tanpa tahu kejelasan proyek itu.
Sebetulnya, tanpa proyek lumbung pangan nasional pun para petani sudah mencoba untuk berkembang, salah satunya di Desa Ganesha Mukti. “Kami (warga) membeli beras dari lumbung (petani). Jangan lagi ada petani yang mengagunkan sertifikat,” kata Tuwon, selaku Kepala Desa Ganesha Mukti. Agunan sertifikat itu untuk mengelola kembali lahan pertanian saat musim tanam.
Padahal, Desa Ganesha Mukti luasnya 24 kilometer persegi. Adapun area persawahan 1.200 hektare, sisanya antara lain perkebunan kelapa dan pinang. Potensi pertanian Desa Ganesha Mukti seharusnya cukup menjanjikan untuk kesejahteraan petani. “Para petani mengupayakan dua kali bertanam (padi) dalam setahun,” ujarnya. Hal itu demi menggenjot perekonomian lokal petani di Desa Ganesha Mukti.
Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatra Selatan menunjukkan, proyek food estate menyasar tujuh kabupaten. Adapun luas lahan yang akan digunakan untuk food estate berbeda-beda di setiap kabupaten. Di Banyuasin akan digunakan 118.732 hektare untuk food estate. Di Ogan Komering Ilir, 59.751 hektare, Musi Banyuasin 20.000 hektare, Ogan Ilir 10.000 hektare, Ogan Komering Ulu Timur 50.000 hektare. Di Musi Rawas dan Muara Enim luas lahan untuk food estate masing-masing sama, yakni 10.000 hektare.
“Food estate dikembangkan di lahan yang sudah ada maupun yang baru,” kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatra Selatan, Bambang Pramono. Lahan baru yang dimaksud bisa memanfaatkan kawasan bekas kebakaran.
Proses food estate sudah dimulai tahun ini, bermula ketika Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo meresmikan proyek lumbung pangan itu di Sumatra Selatan, pada 28 Mei 2021. Belum ada keterangan memerinci mula proses setelah Syahrul meresmikan food estate di Sumatra Selatan. Namun, lahan akan disiapkan, kemudian pemerintah pusat menentukan melalui Percepatan Kebijakan Satu Peta (PKSP) untuk menginisiasi koordinat Area of Interest (AOI) program food estate. Tapi, sampai sekarang belum ada keterangan mendetail letak lahan yang akan digunakan untuk food estate.
Bambang menjelaskan, bahwa pengembangan akan berlanjut dengan target produksi padi sebesar lima juta ton gabah kering giling pada 2022. Ia menambahkan, bahwa Pemerintah Sumatra Selatan berupaya mewujudkan food estate berbasis korporasi dengan pendampingan pertanaman komoditas pertanian.
“Pendampingan itu sesuai dengan spesifikasi lokasi dan kebutuhan petani mulai dari hulu hingga hilir,” ucapnya. Hal itu, kata dia, supaya bisa mewujudkan harapan untuk peningkatan kemandirian petani.
Pada 2019, Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) menghimpun data, bahwa lima kabupaten terdapat lahan gambut. Di Banyuasin luas gambut 151.703,81 hektare, Ogan Komering Ilir 640.134,07 hektare, Musi Banyuasin 237.749,06 hektare, Musi Rawas 37.969,09 hektare, Muara Enim 21.930,14 hektare. Sedangkan di Ogan Ilir dan Ogan Komering Ulu Timur tak ada lahan gambut.
Produksi pangan dalam program food estate menimbulkan kekhawatiran, karena menjadi ranah korporasi. Soal itu, Direktur Spora Institute Julian Junaidi Polong menganggap, pemerintah tidak tuntas memberdayakan petani untuk berdaulat. “Tidak seimbang penguatan kelembagaan petani,” katanya.
Di Sumatra Selatan, selama ini masalah kelembagaan itulah yang belum jelas tersentuh oleh pemerintah. Julian menegaskan, kelembagaan petani bukanlah korporasi, tapi koperasi. Misalnya, ucap dia, ketika produksi pertanian meningkat, bukan petani yang menikmati. Tapi, malah golongan lain. “Itu tengkulak, (badan usaha) penggilingan padi, maupun perusahaan yang memasarkan beras ke konsumen,” ucapnya.
Julian mengamati, bahwa petani hanya dijadikan alat dalam proses produksi pertanian. Kecenderungan korporasi menguasai ketersediaan bibit, pupuk, pestisida, dan peralatan pertanian. Penanganan setelah panen pun korporasi yang memegang kuasa. Padahal, segala yang dikuasai korporasi itu paling banyak mendapat nilai tambah. Sedangkan, proses produksi yang paling berisiko. Maka, peran korporasi dalam food estate hanya menambah pelik petani untuk mencapai kesejahteraan.
“Corak pertanian pangan kita kental dengan persoalan budaya,” kata Julian yang juga akademisi di Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Ia menambahkan, pertanian skala besar sebagai proyek negara untuk memenuhi kebutuhan pangan dianggap tidak cocok untuk kelangsungan hidup petani.
Koordinator Wilayah Konsorsium Pembaruan Agraria Sumatra Selatan, Untung Saputra mengatakan, tanpa proyek food estate, sebetulnya Ogan Komering Ilir, Ogan Komering Ulu Timur, Musi Rawas, Musi Banyuasin, merupakan kabupaten yang memang lumbung pangan. Untung berkata, food estate berisiko meminggirkan petani dari lahannya sendiri. “Jangan mereka (petani) dijadikan buruh di tanahnya sendiri,” katanya.
Ia mengamati, bahwa food estate bukan cuma soal memenuhi kebutuhan pangan. Tapi, masih ada kecenderungan yang rentan menimbulkan masalah. “Ketahanan pangan itu akses lahan bagi petani bukan korporasi,” ujarnya.
Untung pun menyoroti soal teknologi dalam proyek food estate. Menurut dia, semestinya penyediaan teknologi penunjang pertanian bukan hanya untuk kepentingan food estate. Padahal, bertani mandiri pun negara sepatutnya menyediakan prasarana yang menunjang. “Semestinya negara memfasilitasi rakyat, produktivitas petani harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kultur di daerah,” ujarnya.
Ia menambahkan, tata niaga ala food estate juga berisiko. “Harga masih menjadi sesuatu yang tidak menentu,” katanya.
Penulis : Ibrahim Arsyad
Editor : Bram Setiawan