Masihkah Layak Indonesia Disebut Negara Agraris?
Oleh Abil Salsabila dan Yoga AprilliannoKabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki bentang alam gambut seluas 181 ribu hektare dengan berbagai keanekaragaman hayati di dalamnya. Kekayaan ragam hayati ini menjadi inspirasi pola perajin batik. Namun, kekayaan gambut itu kini kian terancam akibat deforestasi, pengeringan untuk pembukaan lahan perkebunan sawit, hutan tanaman industri hingga pertanian warga.
Usianya genap 65 tahun, tapi Yasriwati masih sibuk membatik. Ia menunjukkan selembar kain batik berlatar biru gelap dengan motif pohon nipah yang tercetak merah muda, tampak begitu kontras dan anggun.
Pohon yang tumbuh liar di sepanjang sungai Pengabuan dan rawa gambut itu menjadi ciri khas batik Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. “Motif nipah ini yang paling banyak dicari orang kalau ke sini (Tanjung Jabung Timur),” kata bu Yas, sapaan akrabnya.
Sejak menekuni batik mulai 2015 lalu, ia telah membuat ratusan lembar kain batik dan lebih dari 20 motif. Batik Bu Yas kebanyakan menggambarkan ragam hayati rawa gambut dan pesisir pantai timur Sumatra, seperti bakau, nipah, jeruju, buah pedada, pinang, kelapa dalam, kerang hingga burung migran.
Motif batik Jambi yang dikenal sekarang adalah turunan dari motif Jambi kuno yang kaya dengan pengaruh budaya India. Warna yang dominan merah serta motif kisi-kisi dengan gambar bunga delapan kelopak di dalamnya mirip motif patola, kain panjang yang dibawa para pedagang Gujarat. Motif flora dan fauna juga menjadi ciri batik Jambi kuno.
Di Kabupaten Tebo dan Muara Bungo misalnya, motif batik banyak menggambarkan ragam satwa endemik seperti burung kuau dan merak. Sementara di daerah pinggiran sungai, seperti Kabupaten Sarolangun lebih dominan motif tumbuhan, macam daun pakis dan pucuk rebung. Namun, sejak masuknya ajaran Islam ke wilayah Jambi, motif hewan mulai ditinggalkan, dan batik Jambi cenderung menggambarkan dedaunan dan bunga.
Pada abad 20, seiring dengan pengusaan Hindia Belanda di tanah air, kerajinan batik di Jambi ikut meredup. Baru sekitar tahun 1980an batik Jambi kembali bergairah. Beberapa motif batik kuno mulai dilestarikan, macam bunga bunga tapuk manggis, duren pecah, bunga tanjung, bunga duren, daun pinang, kepak lepas, merak ngeram, sampai burung kuau.
Kepopuleran batik Indonesia turut memengaruhi perkembangan batik di Tanjung Jabung Timur. Motif batik berkembang pesat. Selama lima tahun terakhir Dinas Perindustrian dan Perdagangan mencatat ada 50 lebih motif batik, dan lebih dari separuhnya menggambarkan ragam hayati.
Berbagai tempat wisata dan acara tahunan yang digelar di pesisir timur Sumatra telah menginspirasi para perajin batik untuk menjadikannya sebagai motif batik, seperti mandi safar, menyumbun, pantai cemara sampai dengan burung migran.
Selain tempat wisata, keadaan alam Tanjung Jabung Timur yang memiliki lebih dari 181 ribu hektar daerah gambut juga menjadi inspirasi para pengrajin. Selama ini, para pengrajin batik di Tanjung Jabung Timur berusaha membuat motif batik yang berbeda dari batik Jambi pada umumnya. Mereka terinspirasi dari budaya hingga kondisi alam yang biasa mereka jumpai sehari-hari, termasuk keanekaragaman hayati yang ada di atas gambut. Ragam motif yang terinspirasi dari ekosistem gambut diantaranya: motif pohon nipah (Nypa fruticans) , tanaman jeruju (Acanthus ilicifolius L), buah pedada (Sonneratia caseolaris), dan berbagai jenis tanaman lahan basah lainnya.
Sayangnya, lahan gambut yang berharga itu kini banyak terdegradasi akibat deforestasi, pengeringan untuk pembukaan lahan perkebunan sawit, hutan tanaman industri hingga pertanian warga. Akibatnya banyak jenis tanaman yang perlahan hilang.
Buhori pemilik Saye Batik mengakui pohon putat (Planchonia valida) yang sebelumnya banyak di rawa-rawa dan pinggiran sungai kini semakin sulit ditemukan. “Sekarang pohon putat saya buat jadi motif batik karena sudah langka,” katanya.
Bupati Tanjung Jabung Timur, Romi Haryanto mengatakan, pembukaan lahan besar-besaran punya dampak serius pada keragaman hayati. Tanpa disadari banyak tanaman yang hilang bahkan musnah secara peralahan. “Pasti ada yang terdampak, tapi kita tidak sadar,” katanya.
Karenanya, ia sengaja meminta agar membuat motif batik Tanjung Jabung Timur yang mencerminkan kearifan lokal dan alam sekitar. Ia khawatir banyak generasi muda yang tak mengetahui ragam hayati di Tanjung Jabung Timur karena kepunahan yang terjadi begitu cepat.
“Jadi anak-anak itu biar tahu, kalau yang ada di motif batik itu dulu ada di Tanjung Jabung Timur,” katanya.
Kain batik Tanjung Jabung Timur umumnya memiliki tiga hingga empat warna, yang memadukan kuning, biru, hijau, merah dan hitam. Untuk menciptakan warna yang khas, beberapa pembatik menggunakan bahan pewarna dari alam. Seperti daun mahoni untuk menciptakan warna hitam, kulit jengkol atau jering banyak digunakan untuk warna biru keunguan serta warna coklat kehitaman, tergantung bahan pengunci yang digunakan.Warna coklat juga bisa didapat dari serabut kelapa dan kulit pohon pedada.
“Kalau kulit pohon pedada yang sudah tua itu hasilnya coklat kemerah-merahan,” kata Buhori.
Ia menggunakan akar pohon mengkudu untuk menciptakan warna merah, tapi kini semakin sulit ditemukan. “Mengkudu ini kalau akarnya dipotong mati, makanya kita coba cari alternatif lainnya,” ujar mantan pegawai honorer itu.
Pohon pinang juga banyak dimanfaatkan untuk pewarna alami, pelepah pinang digunakan untuk warna coklat dan serabut buah pinang untuk pewarna merah. Sementara warna hijau bisa didapat dari buah pinang muda dan duan mangrove. “Kalau pakai pewarna alami ini jadinya unik,” tambahnya.
Namun untuk membuatnya butuh proses cukup panjang. Mula-mula bahan perwana alam harus direbus beberapa jam hingga air mengental. Setelah itu kain yang telah dibatik akan direndam semalaman kemudian dijemur di tempat teduh, begitu dilakukan secara berulang-ulang sampai 5 hingga 7 kali. Warna yang dihasilkan dari bahan alami terlihat pudar dan tak setajam pewarna sintetis.
Namun demikian, pewarna alam memiliki kelebihan, yakniselain warnanya yang khas bagi konsumen yang punya alergi dengan bahan sintetis, batik dengan pewarnaan alami lebih aman untuklingkungan.Tak heran jika batik dengan pewarna alami harganya jauh lebih mahalsampai dua kali lipat dibanding warna sintetis yang berkisar Rp 150-180 ribu.
Terkait produktivitas, Bu Yas bisa membuat 30-40 lembar kain batik setiap bulannya. Biasanya menjelang hari besar atau masa libur semester, jumlah pesanan akan meningkat. Namun pandemi Covid-19 telah mengguncang bisnis batik di Tanjung Jabung Timur.
“Biasanya dulu kan sering ada event, nah itu biasanya rame yang cari batik, sekarang kan ngadain event dilarang, gak boleh ada kerumunan, akhirnya kita kena juga dampaknya,” kata Yasdi, pembatik di Tanjung Jabung Timur.
Terlebih lagi, motif batik Tanjung Jabung Timur belum banyak dikenal masyarakat luas. Hal ini juga menjadi kendala bagipara perajin yang semakin sulit memasarkan produknya. Masyarakat luar umumnya mengenal motif batik Jambi, yang cenderung merujuk pada para perajin batik di Desa Seberang, Kota Jambi.
Untuk membantu memasarkan batik motif Tanjung Jabung Timur, Pemerintah Tanjung Jabung Timur mewajibkan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan semua pelaku usaha di Sabak—ibu kota Tanjung Jabung Timur—menggunakan batik setiap hari Kamis.
“Batik kita ini biar dikenal orang. Kan orang yang kerja di sini (Sabak), ini kan dari mana-mana, jadi saat dia pakai batik terus keluar orang kan lihat batik Tanjab Timur itu bagus, akhirnya mereka akan cari,” Ujar Romi.
Bukan hanya itu, Pemda juga membuka gerai oleh-oleh khas Tajung Jabung Timur di Kota Jambi. Beberapa event tingkat kabupaten hingga provinsi juga rutin digelar setiap tahunnya untuk membantu mempromosikan produk masyarakat Tanjung Jabung Timur, termasuk batik.