Oleh Yoga Aprillianno dan Irwantja
dari Kolaborasi Pantau Gambut
Dampak dari rusaknya ekosistem gambut tidak mengenal batas administrasi. Sebut saja asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang dengan mudah melewati daratan dan lautan. Jelas dada siapapun akan menjadi sesak jika menghirup asapnya. Jika ditarik ke konteks yang lebih luas, karhutla bisa memperburuk iklim global. Masyarakat yang tinggal jauh dari gambut pun bisa ikut mencicipi “buah” dampak dari kerusakan gambut ini.
Didesain oleh Freepik
Didesain oleh Freepik

Kesehatan fisik maupun mental banyak orang jadi taruhannya. Selain gangguan pernafasan, gangguan kecemasan karena semakin nyatanya kerusakan lingkungan pun mulai menjamur di berbagai negara. Orang muda menjadi kelompok paling banyak mengalami kecemasan ekologi ini. Sebuah survei terhadap 10.000 orang berusia 16–25 tahun dari 10 negara menemukan 84% diantara mengalami kecemasan akibat perubahan iklim. Sebagian dari mereka berpendapat jika menatap masa depan adalah hal yang menakutkan.

Kecemasan ini sering kali disebut dengan eco-anxiety. Ini adalah respon emosional yang muncul akibat makin tidak terkendalinya krisis ekologi yang sedang terjadi. Orang-orang berisiko mengalami peningkatan rasa takut yang kronis tentang kiamat karena rusaknya lingkungan. Faktor penyebabnya cukup beragam. Mulai dari trauma akibat bencana, tinggal di daerah terdampak bencana, hingga konsumsi informasi yang berlebihan tentang krisis lingkungan. Tidak menutup kemungkinan, eco-anxiety juga dapat terjadi pada mereka yang tidak mengalami bencana secara langsung, tetapi memiliki risiko dan relasi dekat dengannya.

Berdasarkan DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders), eco-anxiety sebetulnya tidak termasuk ke dalam kategori gangguan kesehatan mental atau kejiwaan. Namun, rasa khawatir dan ketakutan ini bisa menjadi nyata dan memengaruhi kesehatan jika dalam jangka panjang tidak mendapatkan penanganan khusus. Rasa marah hingga keputusasaan bisa muncul dan bermanifestasi ke fisik dan pikiran, bahkan bisa menjadi tidak terkendali dan menimbulkan gangguan yang berbahaya.

Rasa ketidakmampuan untuk mengurangi kerusakan membuat kelompok masyarakat–termasuk di dalamnya orang muda–menjadi rentan terkena kecemasan. Mereka merasa jika kekuatan yang mereka miliki terlalu kecil untuk mengubah sumber permasalahan yang cenderung berskala besar dan sulit diatasi. Jangankan untuk mengurangi dampaknya, untuk memahami hal dasar dan tantangan dari setiap sektor saja perlu dedikasi waktu yang cukup banyak dan usaha yang jelas tidak sedikit. Banyak irisan lintas sektor yang terlalu kompleks, dan tidak bisa diatasi sendiri. Rasanya, upaya pribadi menjadi nihil dampaknya terhadap lingkungan.

Pantau Gambut mengidentifikasi setidaknya ada 15 topik yang bersilangan dengan isu gambut. Beberapa diantaranya seperti perubahan iklim, masyarakat adat, budaya, gender, energi, hubungan internasional, perdagangan karbon, dan lain sebagainya. Masing-masing topik pun memiliki kompleksitasnya sendiri sebelum dikaitkan menjadi sebuah bahasan yang utuh tentang gambut. Butuh dedikasi yang cukup tinggi untuk bisa masuk ke dalam frekuensi diskusi ini. Namun, perlu kesadaran yang baik juga agar tidak tenggelam terlalu dalam dan malah menjadi penyakit.

Munculnya rasa cemas, tapi ingin semuanya baik-baik saja, sebenarnya menunjukkan bahwa seseorang itu peduli terhadap isu lingkungan. Namun, penting untuk tetap menjaga kesehatan fisik maupun mental dalam memproses semua informasi terkait bencana dan musibah yang ada di depan mata. Tidak perlu muluk-muluk untuk melakukan hal besar sekaligus. Dengan menyebarkan berita dan cerita tentang gambut melalui media sosial, kita sebenarnya sudah menjadi sarana untuk memilah dan memilih informasi yang penting untuk diresapi.

Membeli produk ramah gambut yang dihasilkan oleh UMKM lokal juga menjadi opsi cara penyelamatan gambut dengan cara yang menyenangkan. Anyaman dari purun dan rotan, kopi liberika, olahan susu kerbau rawa, hingga minyak kelapa (VCO) menjadi contoh komoditas yang ramah terhadap ekosistem gambut. Selain memanjakan mata saat berbelanja, aktivitas ini juga bisa mendukung masyarakat lokal untuk bisa menghidupi dirinya sendiri dan tidak bergantung dengan produktivitas dari perkebunan monokultur yang secara langsung maupun tidak langsung merusak gambut.

Mengikuti kegiatan yang berkaitan dengan penyelamatan gambut di komunitas terdekat juga bisa jadi kegiatan yang brmanfaat. Gerakan bersama dengan orang lain bisa menciptakan sebuah support system yang saling memberikan dukungan yang juga bisa membantumu beraktivitas positif, berelasi dengan orang baru, dan tidak lagi merasa sendirian.

Jika perasaan cemas dan pikiran sudah mengganggu keseharian, ada baiknya kita mencobauntuk mencari bantuan dari profesional seperti psikolog ataupun psikiater. Penanganan yang tepat akan menghindarkan kita dari dampak yang berbahaya. Jangan sampai “buah” dari jauh terus berdatangan dan menyebabkan perasaan yang mengganggu. Dirimu berharga! Begitu juga ekosistem gambut yang jauh di sana.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.