Menakar Komitmen Calon Kepala Daerah terhadap Pelestarian Gambut
Oleh Nikodemus AleDesa Jebus merupakan satu dari lima desa di Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muarojambi, yang telah memiliki Peraturan Desa (Perdes) Tentang Perlindungan Lahan Gambut Untuk Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan Berkelanjutan. Namun setelah berjalan hampir tiga tahun, belum ada implementasi ataupun dampak yang terlihat terhadap masyarakat dari peraturan desa yang bisa mendukung program restorasi gambut di Jambi ini. Agar tidak menjadi sekedar pepesan kosong, pemerintah daerah dan seluruh pemangku kepentingan perlu mendorong implementasi sehingga peraturan desa tersebut benar-benar memberikan dampak untuk keberlanjutan pertanian pangan di lahan gambut.
Daud menyesap sebatang rokok kreteknya sembari menyaksikan sebuah alat berat yang sedang mengerjakan pembersihan kanal di lahan pertanian jagung di pinggir jalan poros Desa Jebus, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Raut wajah Daud sumringah, lantaran bulan depan dia dapat mulai menggarap lahannya untuk ditanami jagung. Daud yakin setelah kanal dibersihkan, bulan depan air yang menggenang di lahan gambut miliknya itu mulai mengering.
Daud, yang siang itu mengenakan kaos singlet hijau, beranjak sejenak ke dapur untuk menyiapkan es teh. Maklum cuaca siang hari di pertengahan April itu sangat terik. Sekiranya, minuman dingin dapat melepas dahaga beberapa pekerja alat yang sedang membersihkan tumbuhan eceng gondok dari kanal.
"Mengelola lahan pertanian di gambut itu perlu perlakukan yang beda, kadang kering, kadang juga banjir seperti sekarang ini. Sekarang masih banjir, air masih menggenang, mungkin mulai bulan depan sudah mulai garap. Kami di sini menanam jagung," kata Daud saat ditemui di Desa Jebus, Jumat (19/4/2019).
Saat alat berat mengeruk tumpukan eceng gondok, sejumlah warga turut datang dan mendekat hingga jarak aman. Mereka menenteng ember yang akan jadi alat sederhana untuk mencari ikan yang terbawa dari sisa pembersihan dari kanal itu. Ikan-ikan di kanal itu adalah ikan Gabus (Channa striata), ikan khas yang hidup di air rawa gambut.
"Setiap memasuki masa tanam warga desa sini mulai sibuk. Kami juga minta alat berat perusahaan untuk membantu," kata Daud.
Seminggu menjelang masa tanam dan saat lahan sudah kering, warga Desa Jebus mulai mencangkul tanah garapan. Biasanya petani di desa itu, kata Daud, tidak membakar saat menggarap lahannya, sebab yang dibuka bukan lahan baru. Memang, sebagian masyarakat masih ada yang membuka lahan baru dengan cara membakar. Namun, menurut ketentuan setempat, pembukaan lahan dengan cara membakar ini hanya boleh dilakukan sore hari saat matahari tidak terlalu terik dan harus dijaga oleh warga sehingga api tidak menyebar.
Menjelang masa tanam, ada tradisi syukuran yang kerap dilakukan warga. Acara ini bertujuan meminta keberkahan dari Sang Pencipta sehingga tanaman tumbuh subur dan dilindungi dari hama. Untuk syukuran itu, mereka patungan membeli seekor kambing. Setelah tradisi syukuran dilaksanakan, warga akan mulai menanam jagung dengan jenis Bisi-2 super.
Perdes Perlindungan Gambut
Desa Jebus yang secara administrasi masuk wilayah Kecamatan Kumpeh Ilir, Muaro Jambi, berada di wilayah dua Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), yaitu KHG Sungai Batang Hari - Sungai Air Hitam Laut dan KHG Sungai Mendahara - Sungai Batanghari. Sebagian besar wilayah Jebus adalah gambut yang luasnya mencapai 116.028 hektar. Kedua KHG ini termasuk dalam program prioritas restorasi 2 juta hektar lahan gambut.
Berdasarkan Rencana Kontijensi 2017 dari Badan Restorasi Gambut (BRG), rencana kegiatan restorasi di Jebus meliputi pembangunan infrastruktur pembasahan kembali (rewetting) berupa 5 unit sumur bor. Di tahun berikutnya berdasarkan Rencana Tindak Tahunan (RTT) 2018 dari BRG, pembangunan infrastruktur pembasahan meliputi antara lain 11 sumur bor dan 64 sekat kanal.
Pemerintah desa setempat turut mendukung upaya restorasi dan perlindungan lahan gambut dengan berinisiatif membuat peraturan desa (Perdes). Pada tahun 2017, Desa Jebus resmi memiliki payung hukum berupa Peraturan Desa No 01 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Lahan Gambut Untuk Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan Berkelanjutan.
Menurut Sekretaris Desa, Jamaludin, salah satu poin yang termuat dalam peraturan tersebut adalah, Pemerintah Desa memberikan insentif kepada petani berdasarkan pertimbangan kesuburan tanah, luas tanam, irigasi, tingkat fragmentasi lahan, produktivitas usaha tani, lokasi kolektivitas usaha pertanian, dan praktik usaha tani ramah lingkungan melalui konsep pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB).
Instrumen Perdes tersebut, kata Jamaludin, penting bagi desanya karena berada di areal gambut.
“Di dalam Perdes itu ada ketentuan tentang pemberian intensif bagi petani yang menjalankan usaha tani ramah lingkungan dan sanksi bagi petani yang tidak ramah lingkungan. Selain untuk melindungi lahan gambut untuk pertanian pangan juga untuk menjaga alih fungsi lahan pertanian. Sebab, Desa Jebus itu berada tidak jauh dari lokasi perkebunan kelapa sawit," ujar Jamaludin.
Berdasarkan data spasial yang diolah Pantau Gambut, wilayah kerja perusahaan yang berada dalam wilayah administrasi Desa Jebus adalah PT Jambi Batanghari Plantation (lihat peta). Menurut data BPS dalam Kecamatan Kumpeh Dalam Angka 2018, Desa Jebus memiliki tanah kas desa (TKD) seluas 20.250 meter persegi yang ditanami kelapa sawit sebagai komoditas utama.
Keberadaan dan perkembangan perkebunan sawit ini sempat menimbulkan kekhawatiran atas kemungkinan konversi lahan pertanian pangan. Kekhawatiran ini lah yang turut mendorong kelahiran Perdes Gambut di Jebus.
Ekspansi perkebunan sawit membuat sebagian masyarakat tergiur menjual lahan mereka dan akhirnya bekerja menjadi buruh di perusahaan dengan bayaran kisaran Rp 2.000.000 sesuai upah minimum provinsi (UMP) Jambi.
"Perdes itu tujuannya sederhana, yakni untuk memastikan bahwa lahan pertanian itu jangan sampai dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit," kata Jefri Nurrahman, Program Manajer Perkumpulan Walestra.
Jefri adalah salah satu yang mendorong inisiatif pendampingan lima desa di Kumpeh untuk membuat peraturan desa yang melindungi lahan gambut untuk pertanian pangan. Saat ini, sudah ada lima desa yang memiliki peraturan desa yang sama, yaitu Desa Seponjen, Desa Sogo, Desa, Gedong Karya, Desa Jebus, dan Desa Sungai Air. Secara total, lima desa itu memiliki lahan pertanian seluas 700 hektar yang berada kategori gambut dangkal.
Selain untuk perlindungan lingkungan dan pertanian pangan, Perdes Gambut di Jebus ini juga diharapkan dapat menjadi penyeimbang atas perubahan sosial yang dibawa perkebunan sawit. Menurut Jefri, saat ini sekitar 70 persen perempuan di Jebus menjadi buruh di perusahaan perkebunan kelapa sawit dan sudah jarang beraktivitas di lahan pertanian sawah. Padahal dulu, perempuan mendominasi aktivitas di lahan pertanian sawah sementara kaum pria bertugas memindahkan hasil panen dari sawah ke rumah.
“Pertanian padi sawah bukan sekedar persoalan bahan pangan. Tapi, di Jebus, itu bagian dari pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Persoalannya sekarang kebun-kebun masyarakat itu dijual oleh kaum pria. Para perempuan kehilangan wilayah di mana mereka bisa menjalankan peran utama mereka dan malah menjadi buruh di perusahaan," kata Jefri.
Namun, tiga tahun setelah dibuat, Sekretaris Desa, Jamaludin, mengakui Perdes masih jalan di tempat. Padahal selain untuk mendukung restorasi gambut, peraturan desa tersebut dapat menjadi dasar dan acuan pemerintah desa dalam menyusun Rancangan Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) yang berkaitan tentang perlindungan gambut untuk pertanian pangan. Dengan Perdes di tangan, pemerintah desa juga bisa mengalokasikan dukungan dana desa dan dana lainnya untuk pengolahan lahan dan peningkatan kapasitas petani.
Warga desa pun tak banyak yang mengetahui aturan ini. Minimnya sosialisasi kepada warga menjadi salah satu penyebab ketidaktahuan masyarakat.
Hal itu pun diakui seorang petani perempuan, Rusna. "Tidak tahu kalau ada peraturan, kami petani tahunya cuma menggarap lahan," katanya.
"Sekarang modalnya pemerintah desa bisa berani, misalnya berani untuk menganggarkan dana untuk bantuan petani dalam menunjang pertanian masyarakat. Kalau pemerintah desa berani tidak masalah, karena itu pasti melibatkan masyarakat petani yang membutuhkan dukungan penganggaran untuk keberhasilan sektor pertanian pangan di lahan gambut," tutup Jefri.