Oleh Romes Irawan
dari Simpul Jaringan Pantau Gambut
Ada kabar baru dari program perlindungan hutan di Riau. Pemerintah Riau bikin program adopsi pohon, yang ditujukan bagi pemilik izin perhutanan sosial baik berbentuk hutan desa, hutan adat, hutan kemasyarakatan.

Dalam siaran pers saat peluncuran program pada 11 Agustus lalu, Pemerintah Riau menyebut, program seperti ini pertama kali dilakukan pemerintah dalam melindungi hutan di kawasan berjenis izin perhutanan sosial.

Gubernur Riau menyebut, setidaknya sudah terkumpul dana Rp2 miliar dari berbagai pihak termasuk perusahaan. Dalam laman platform program adopsi pohon ini terlihat sembilan dari 10 pengadopsi teratas adalah perusahaan yakni sawit dan minyak.

“Hari ini tercapai adopsi pohon kita sebanyak 10.613 pohon. Ini satu pohon dananya Rp200.000, berarti terkumpul dana sekitar Rp2 miliar lebih,” kata Gubernur Riau, Syamsuar dalam rilis itu.

Konsepsi program ini adalah memberikan dana kepada yang mendapatkan perhutanan sosial dengan cara pengadopsian pohon. Bagi pohon berdiameter 40 cm lebih akan diberi dana Rp200.000 untuk satu tahun. Bagi pohon diameter kurang dari itu Rp50.000 satu tahun.

Syamsuar menyebut, program adopsi pohon ini sebagai bagian dari konsep Riau Hijau. Pemberian uang kompensasi dari menjaga pohon ini diharapkan bisa memberi banyak manfaat bagi masyarakat di desa yang sudah mendapatkan hak pengelolaan hutan dalam skema perhutanan sosial itu. Dia bilang, dana itu bisa untuk kegiatan di desa termasuk infrastruktur, pendidikan dan lain-lain.

Mungkin harus berhenti sejenak sembari melihat bagaimana perjalanan program perhutanan sosial di Riau hingga sekarang. Dengan begitu bisa mengetahui apakah program ini mampu menyelesaikan masalah utama terhambatnya program perhutanan sosial Presiden Joko Widodo ini.

Sepanjang perjalanan saya ke sejumlah komunitas yang mendapatkan izin perhutanan sosial di Riau, masalah utama mereka ada dua. Pertama, marak pembalakan liar. Sepanjang diskusi dengan pemegang izin perhutanan sosial, penebangan ilegal ini jelas tidak bisa setop kalau tidak dibantu aparat hukum. Penegak hukum yang sesungguhnya bisa diandalkan adalah polisi hutan, anggota kepolisian dan bupati.

Kedua, tak ada dana operasional mengawasi hutan desa, hutan adat dan hutan kemasyarakatan. Praktis, sejak mendapatkan izin perhutanan sosial dari presiden, yang sudah dilakukan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) dan hutan adat sebatas menyelesaikan pemetaan zonasi, rencanakKegiatan tahunan (RKT) dan rencana kegiatan usaha (RKU).

Dua dokumen ini, bahkan ada yang baru selesai setelah bertahun-tahun mendapat surat keputusan perhutanan sosial.

Mendekati masa kadaluarsa izin perhutanan sosial ini, tak satupun yang mencapai tahap pengelolaan. Padahal, salah satu tujuan perhutanan sosial adalah bagaimana kawasan hutan ini memberi dampak bagi kesejahteraan masyarakat tanpa merusak.

Tahapan dokumen RKT/RKU hanyalah masalah administrasi dan pun cukup berlarut dan tertatih. Diakui atau tidak, asistensi pemerintah daerah Riau dalam mendukung perhutanan sosial tidak sebesar yang dicitrakan di media. Ketiga, minim asistensi pemerintah daerah baik dalam program insentif ekonomi alternatif maupun penganggaran.

Kalau Gubernur Syamsuar berharap dengan dana program adopsi pohon ini, hutan perhutanan sosial akan terlindungi, jelas tidak akan berhasil. Melawan pembalakan liar dengan dana tak seberapa itu apalagi oleh masyarakat, akan berhadapan dengan para cukong di balik operasi liar itu.

Sebenarnya, cukup mudah bagi pemerintah daerah membantu para pengelola perhutanan sosial, yakni, memberikan dukungan pengawasan dan penegakan hukum, program ekonomi alternatif dari hasil hutan non kayu dan asistensi pemberdayaan maupun kapasitas. Alih-alih membuat program adopsi pohon yang bisa digunakan perusahaan sawit dan hutan industri sebagai kampanye green washing mereka.

Apalagi kalau gubernur berpikir, hutan Riau bisa terselamatkan dengan program adopsi pohon, ibarat jauh panggang dari api. Masalahnya, jauh lebih kompleks.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, tutupan hutan Riau sejak 2012-2019 hilang seluas 781.941,84 hektar. Pada 2019, tersisa 8.964.880,21 hektar mencakup kawasan hutan lindung, hutan produksi konversi, dan areal penggunaan lain.

Analisis data Pantau Gambut juga menyebutkan, tutupan hutan gambut Riau menyusut 301.897,92 hektar kurun 2011-2019. Kini, luas itu hanya 3.867.400,84 hektar.

Sementara kerusakan hutan baik di mineral maupun gambut justru banyak terjadi di areal konsesi milik perusahaan besar. Memperbaiki hutan di areal perhutanan sosial tak akan banyak memberi dampak kalau Gubernur Syamsuar membiarkan tanggungjawab perusahaan dalam menjaga konsesi dari kebakaran hutan dampak pengeringan dan ekspansi perkebunan. Sebab, data peringatan titik api menunjukkan angka 47% kebakaran di konsesi serat kayu tahun 2016, ini terus berulang pada musim kering.

*Penulis merupakan Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Riau dan Direktur Kaliptra Andalas

**TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN DI PORTAL MEDIA ONLINE MONGABAY.CO.ID PADA TANGGAL 27 NOVEMBER 2021**

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.