Jilid 1: Proyek Food Estate Kalimantan Tengah Setelah 2 Tahun Berlalu
Oleh Oriz Anugerah Putra, Desti Ayunda (WRI Indonesia), Agiel Prakoso, Iola AbasSesuai dengan Perpres No. 120 Tahun 2020, Deputi III bertanggung jawab melaksanakan fungsi edukasi, sosialisasi, dan menghimpun dukungan dari stakeholder yang memiliki perhatian pada isu gambut dan mangrove. Mulai dari pemerintah daerah, akademisi, korporasi, media massa, organisasi masyarakat sipil, hingga masyarakat lokal penerima manfaat. Idealnya, semua stakeholder bisa masuk ke dalam ruang komunikasi dan berkolaborasi untuk memulihkan ekosistem gambut dan mangrove. Namun jika berbicara tentang isu gambut di Indonesia, bukan tidak mungkin ruang tersebut malah disusupi oleh pihak-pihak yang membawa agenda untuk mengeksploitasi lahan gambut yang tersisa.
Beberapa proyek strategis pemerintah juga bersinggungan secara langsung dengan lahan gambut.Sebut saja proyek pengembangan bahan bakar nabati yang menggunakan kelapa sawit sebagai bahan baku. Belum lagi jika berbicara proyek Food Estate ataupun Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikerjakan di atas lahan gambut. Perputaran rupiah yang dihasilkan dari konversi jutaan hektare lahan gambut pun luar biasa besar. Baik melalui laporan yang dipublikasi, apalagi yang tidak. Situasi ini membuat setiap jabatan pemerintah yang bersinggungan dengan ekosistem gambut menjadi rentan untuk diperebutkan dan mengancam upaya pemulihan gambut.
Di atas kertas, BRGM masih memiliki target komitmen untuk merestorasi kurang lebih 540.000 hektare gambut di tahun 2023 dan 2024. Belum lagi ditambah dengan klaim dari KLHK di Bulan Juli lalu yang menyebutkan bahwa 20,2 juta hektare lahan gambut di Indonesia sudah dalam kondisi rusak. Dengan kata lain, hanya 16,6% saja lahan gambut yang statusnya tidak rusak.
Selain luasan lahan yang belum direstorasi, intervensi melalui Program 3R (pembasahan, revegetasi, dan revitalisasi) juga belum sepenuhnya dapat sinkron secara lintas instansi. Data yang dihimpun olehPantau Gambut menyebutkan masih banyak ditemui program edukasi maupun pendampingan ekonomi BRGM yang tumpang tindih dengan program dari akademisi, korporasi, maupun pihak ketiga lainnya. Belum lagi temuan pembangunan sekat kanal yang dibangun berdekatan dengan sekat kanal milik lembaga lainnya. Persebaran intervensi yang tidak merata akhirnya membuat dampak dari restorasi menjadi tidak maksimal.
Koordinator Nasional Pantau Gambut, Iola Abas menyatakan, Deputi III wajib memiliki rekam jejak yang relevan dengan kegiatan restorasi gambut dan jejaring yang jelas untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan ataupun konflik kepentingan. Selain itu, individu yang mengisi posisi ini juga harus memiliki kecakapan berkomunikasi untuk memilah dan memilih stakeholderyang masuk ke dalam ruang komunikasi dan kolaborasi yang dibangun oleh BRGM.
Menurut Iola, Deputi III BRGM yang baru nanti harus sepenuhnya memahami pekerjaan rumah yang ditinggalkan oleh deputi terdahulu. Dirinya menambahkan, apabila tidak ada individu yang bisa memenuhi kriteria yang diberikan, BRGM harus berani untuk membuka ruang baru melalui rekrutmen ataupun lelang jabatan bagi orang-orang yang memiliki kompetensi di bidang gambut dan mangrove. Hal ini sangat mungkin dilakukan mengingat Undang-undang Aparatur Sipil Negara memperbolehkan jabatan pimpinan tinggi utama dan madya tertentu berasal dari kalangan non-PNS dengan persetujuan Presiden.
"Apalagi kalau kita melihat potensi yang dimiliki gambut dalam peta diplomasi politik Indonesia, jelas tidak main-main. Bagaimana tidak, restorasi dan perlindungan gambut merupakan salah satu isu yang didorong pemerintah dalam mengurangi laju perubahan iklim selama ini,khususnya dalam pertemuan-pertemuan internasional," ungkap Iola.
Harapannya, pemimpin di Kedeputian III BRGM dapat diisi oleh profesional yang memang memiliki dedikasi penuh atas jabatannya untuk mengembalikan ekosistem gambut seperti sedia kala. Jangan sampai posisi ini hanya menjadi “kue” yang dibagi secara cuma-cuma demi mendapatkan kontrol atas politik anggaran dan kekuasaan.