Oleh Admin
dari Pantau Gambut
Semboyan gemah ripah loh jinawi muncul untuk menggambarkan begitu suburnya tanah serta makmurnya masyarakat di Indonesia. Namun, penggambaran tersebut makin kabur karena petani yang seharusnya menjadi subjek utama kedaulatan pangan malah terus didorong untuk mengkomodifikasikan hasil lahannya secara besar-besaran.
Eskavator melakukan pembukaan lahan pada area hutan yang akan digunakan untuk proyek Food Estate di Sepang, Gunung Mas, Kalimantan Tengah ©Muhamad Habibi / Save Our Borneo / Greenpeace
Eskavator melakukan pembukaan lahan pada area hutan yang akan digunakan untuk proyek Food Estate di Sepang, Gunung Mas, Kalimantan Tengah ©Muhamad Habibi / Save Our Borneo / Greenpeace

Semboyan gemah ripah loh jinawi muncul untuk menggambarkan begitu suburnya tanah serta makmurnya masyarakat di Indonesia. Namun, penggambaran tersebut makin kabur karena petani yang seharusnya menjadi subjek utama kedaulatan pangan malah terus didorong untuk mengkomodifikasikan hasil lahannya secara besar-besaran. Pemerintah pun seolah mengingkari UUPA 1960 (UU Pokok-pokok Agraria) karena memaksakan pelaksanaan program pangan seperti Food Estate di berbagai wilayah di Indonesia. Ikatan antara masyarakat dengan tanah mereka pun banyak yang akhirnya dipisahkan oleh program yang dinarasikan sebagai solusi krisis pangan ini. Hari Tani Nasional (HTN) yang sejatinya digunakan sebagai momen apresiasi perjuangan golongan petani di Indonesia, akhirnya hanya menjadi seremoni tahunan.

Di saat Pantau Gambut mencatat kegagalan hasil panen padi Food Estate Kalimantan Tengah, data dari Bulog per 22 September 2023 malah menyebutkan realisasi impor beras yang mencapai 1.028.478 ton dari rencana impor 2 juta ton. Juru Kampanye Pantau Gambut, Abil Salsabila pun menanggapi, “Kebijakan pemerintah terkait rencana impor 2 juta ton ini jelas bertolak belakang dengan jaminan kedaulatan pangan oleh negara yang telah diatur dalam UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kebijakan pelaksanaan program seperti Food Estate ini pada akhirnya tidak tepat.”

Padahal, untuk melaksanakan program ini pemerintah kerap menerabas batasan daya dukung lingkungan. Pantau Gambut mencatat adanya deforestasi seluas 700 hektare di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Pembukaan lahan yang mengatasnamakan solusi krisis pangan ini membuat ekosistem gambut menjadi berisiko semakin terdegradasi. Belum lagi peringatan FAO tentang El Nino yang dikeluarkan Februari 2023 yang memprediksi adanya risiko kegagalan panen. Hal ini merujuk pada pengalaman 2019, dimana penurunan curah hujan berdampak pada hasil panen.

Minimnya pelibatan petani sebagai subjek produsen pangan dan pengabaian ekosistem gambut yang memiliki karakter berbeda dengan tanah mineral, akan berdampak pada hasil panen yang tidak maksimal. Kajian Pantau Gambut pun menemukan adanya perbedaan yang signifikan antara hasil panen padi yang ditanam di lahan gambut, dengan padi yang ditanam di lahan mineral.

Tabel 1. Perbandingan hasil produksi padi yang ditanam di lahan gambut dan lahan mineral

Penting untuk melakukan evaluasi proyek Food Estate, khususnya pada ekosistem gambut karena dapat mengarah ke kerusakan yang lebih parah. Abil menambahkan, “Pelibatan petani sebagai subjek produsen pangan juga menjadi poin krusial karena pemenuhan pangan tidak bisa bersandar pada mekanisme pasar yang dikendalikan oleh industri pangan monokultur skala besar. Jangan sampai gemah ripah loh jinawi berubah menjadi gemah ripah loh kok gitu.”

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.