Oleh Agiel Prakoso dan Rahmah Devi Hapsari
dari Pantau Gambut

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang masif terjadi di Provinsi Riau menimbulkan kerugian multi-sektoral. Analisis Pantau Gambut untuk periode 1 Juli-11 September 2019 menunjukkan sebagian besar kebakaran di Riau terjadi di atas lahan gambut dan hampir setengahnya berada di kawasan konsesi. Secara historis, Riau merupakan lokasi langganan karhutla di Indonesia selama 15 tahun terakhir. Oleh sebab itu, kebakaran yang berulang setiap tahun di wilayah konsesi sewajarnya menjadi sorotan terkait kepatuhan perusahaan terhadap regulasi perlindungan lahan gambut.

Kebakaran hutan dan lahan merupakan peristiwa rutin yang selalu terjadi di Provinsi Riau setiap tahunnya. Titik panas bahkan telah singgah sejak awal 2019 yang seharusnya diperkirakan masih masuk dalam musim penghujan. Masyarakat Riau terpaksa kembali bernostalgia hidup berkalang asap pekat dan menyesakkan seperti yang terjadi tahun 2015 silam.

Asap yang membubung tinggi tidak hanya menghambat aktivitas warga, tapi juga mempengaruhi kualitas udara yang berbahaya untuk dihirup.

Dalam Periode 14 Agustus – 13 September 2019 data Indeks Kualitas Udara di Pekanbaru menunjukan hasil yang sangat mengkhawatirkan. Bahkan, kualitas udara Pekanbaru per 13 September 2019 masuk dalam kategori “Sangat Tidak Sehat”. Asap yang berasal dari karhutla mengandung campuran gas dan partikel berbahaya, seperti karbon monoksida, karbon dioksida, nitrogen oksida, sulfur dioksida dan lainnya. Selain itu, terdapat partikel-partikel kecil yang ikut terbawa dalam asap (particulate matter) dan dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi siapa saja yang menghirupnya.

Yohanes, Kepala Bidang Pelayanan Dinas Kesehatan Riau, menyebutkan 21.671 warga Riau telah terserang penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Pekanbaru berada di posisi teratas dalam hal penderita ISPA dibandingkan wilayah lainnya di Riau. Jumlah penderita ISPA terbanyak terjadi sepanjang Agustus 2019, yaitu terdapat lebih dari 5.000 warga yang terpapar. Karhutla sesungguhnya terjadi di beberapa wilayah Riau, namun, asap yang melambung tinggi terbawa angin hingga ke kota Pekanbaru sehingga sangat mengganggu aktivitas di kota pusat pemerintahan Provinsi Riau tersebut.

Pantau Gambut melakukan analisis perbandingan titik panas tahun 2019 dan tahun 2015. Hasilnya, jumlah titik panas pada Juli-Agustus 2019 lebih tinggi dibandingkan periode yang sama  saat karhutla hebat melanda Indonesia. 

Analisis Global Forest Watch menunjukkan titik panas yang muncul di Provinsi Riau pada periode 1 Juli – 11 September 2019 berjumlah 21.833 titik. Dari jumlah tersebut, 64% titik panas berada di atas lahan gambut, dan 48% terdapat di atas wilayah budidaya berizin. Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat mengingat kemarau panjang masih akan berlangsung hingga November 2019.

Pantau Gambut menganalisis sebaran perusahaan pada pemegang izin budidaya di kawasan gambut Riau periode 1 Juli-11 September 2019. Hasilnya, teridentifikasi 10 perusahaan dengan jumlah titik panas terbanyak dari seluruh konsesi yang ada di atas lahan gambut. 

PT Sumatera Riang Lestari (SRL) menjadi jawara untuk jumlah titik panas terbanyak yang muncul di wilayah perusahaannya pada periode 11 Juli - 11 September 2019. PT SRL patut menjadi perhatian karena sudah pernah terjerat kasus kebakaran hutan di dalam wilayah konsesinya pada tahun 2015.     

Pada 2019, sejumlah wilayah di kawasan PT SRL kembali terbakar. Analisis Pantau Gambut menunjukan lebih dari 250 titik panas tertangkap sensor VIIRS selama periode Juli-September 2019 di perusahaan afiliasi Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL) . Angka ini naik signifikan jika dibandingkan trend kebakaran di tahun-tahun sebelumnya.

Kurangnya pengawasan terhadap implementasi restorasi, terutama di lahan konsesi, membuat kejadian karhutla terus berulang. Terbatasnya akses publik terhadap data komprehensif perkembangan restorasi gambut di konsesi menimbulkan pertanyaan apakah kegiatan pemulihan sudah berjalan sesuai komitmen yang digulirkan?  

Untuk menindak kasus kebakaran hutan dan lahan, baik yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan, setidaknya terdapat tiga peraturan perundangan yang dapat digunakan oleh Satuan Tugas Karhutla, yaitu: Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan , Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Panduan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Lebih rinci dalam UU PPLH menyebutkan tiga mekanisme penegakan hukum yaitu sanksi administratif berupa teguran tertulis hingga pencabutan izin, sanksi perdata berupa ganti rugi hingga kewajiban pemulihan area terbakar, dan sanksi pidana berupa denda hingga perampasan keuntungan. Sayangnya, ketiga payung hukum ini terasa tidak memberikan efek patuh, terutama pada perusahaan dan grup besar yang terus tersandung kasus serupa tiap tahunnya.

Pertanyaan selanjutnya muncul mengenai penegakan hukum kasus karhutla, apakah Undang-Undang yang ada masih belum mengikat dan efektif?

Provinsi Riau memang masuk dalam program prioritas restorasi gambut, tetapi kebakaran yang terjadi di lahan gambut menunjukan upaya restorasi yang sudah dilakukan masih belum efektif karena gambut rusak memerlukan waktu yang lebih lama untuk pulih. Analisis Lapangan Pantau Gambut pada wilayah terestorasi di Riau merekomendasikan agar seluruh pemangku kepentingan memastikan bahwa restorasi gambut benar-benar terealisasi dengan baik, termasuk implementasi pada kawasan konsesi.

 

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.