Oleh Donny Muslim
dari Pantau Gambut

Kontes pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Kalimantan Selatan diharapkan dapat menjadi ajang adu gagasan para calon dalam menangani permasalahan lingkungan hidup, termasuk tata kelola gambut di Provinsi Kalsel. Namun demikian, perhatian para kandidat terhadap isu krusial seperti itu rupanya belum menjadi perhatian utama dalam momen Pilkada 2020.

Dari dua kandidat calon gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Selatan yang bersaing, yakni Sahbirin Noor-Muhidin (BirinMU) dan Denny Indrayana-Difriadi Darjat (H2D), keduanya hanya menyebut isu tata kelola gambut di permukaan saja.

Contohnya pasangan petahana BirinMU, dalam naskah visi-misi dan program pasangan calon yang mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah, hanya menyebutkan secara umum saja bahwa masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) akan dijadikan isu strategis dan akan diselesaikan dengan program berbasis teknologi. Tetapi belum jelas komitmen kandidat petahana ini soal bagaimana menangani alih fungsi lahan gambut.

Sementara itu, untuk pasangan H2D, pada paparan visi-misi tertulis bahwa pasangan ini memiliki program unggulan untuk memastikan efektivitas program pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan gambut. Selain itu, pasangan ini juga memiliki agenda untuk memperbaiki ekosistem rawa gambut (ERG) dengan pelibatan dan pemberdayaan masyarakat di ekosistem tersebut. Tetapi serupa dengan saingannya, pasangan H2D masih belum merinci bagaimana aksi nyata mereka untuk merealisasikan dua hal tersebut jika terpilih dalam Pilkada 2020 nanti.

Debat perdana Pilgub Kalsel bertema Hukum, Kebangsaan, Hak Asasi Manusia, Agraria, Politik dan Pemerintahan beberapa waktu lalu pun, kedua kandidat tidak menjelaskan bagaimana komitmen dua kandidat tersebut terhadap isu pelestarian gambut.

Sepanjang dua jam khususnya saat sesi persoalan HAM dan agraria, tak ada satu pun kata kunci soal gambut yang disinggung dalam pembahasan. Denny Indrayana selaku penantang lebih condong menyoroti persoalan lubang tambang Kalsel yang tercatat paling banyak nomor 2 se-Indonesia. Sedangkan petahana Sahbirin Noor sibuk menangkis argumen Denny dengan memamerkan program penghijauan atau Revolusi Hijau.

Padahal, dalam catatan Pantau Gambut, ada sejumlah persoalan krusial gambut yang belum tertangani secara baik oleh pemangku kebijakan. Seperti belum rampungnya Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Kalimantan Selatan hingga masih maraknya karhutla baik dalam areal konsesi perusahaan maupun di luar lahan korporasi serta konflik agraria antara rakyat dengan korporasi.

RPPEG yang mestinya menjadi landasan dasar perlindungan gambut di daerah, gagal dirampungkan karena sejumlah faktor seperti minimnya dorongan dari pihak eksekutif hingga susahnya menetapkan peta gambut per masing-masing daerah. Lebih lanjut lagi, belum ada peta gambut per daerah yang menjadi syarat penyusunan RPPEG, dan peta gambut masih dalam skala nasional sehingga tidak memiliki resolusi cukup yang dibutuhkan dalam menyusun RPPEG.

Tim Pantau Gambut sudah mengajukan penawaran wawancara pada kedua tim pemenangan, namun hingga artikel ini diturunkan, belum ada respon dari keduanya.

Direktur Eksekutif Walhi Kalsel sekaligus Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, meminta penanganan penyelamatan ekosistem rawa gambut khususnya soal karhutla dapat menjadi perhatian serius pemerintah, terlepas dari siapa pun yang terpilih kelak terkhusus lagi karhutla didalam Kawasan konsesi.

Pasalnya, permasalahan gambut terutama yang terkait dengan kebakaran hutan di Kalimantan Selatan tak kunjung usai.  Walhi menemukan adanya kecenderungan peningkatan jumlah titik panas pada Juli – September 2019 di Kalsel. Bahkan jumlah titik panas pada bulan Juli yang masih pada kisaran 300, langsung meningkat menjadi lebih dari 5000 titik panas pada bulan September dengan area gambut terbakar seluas 45911,2 hektare.

Kisworo selanjutnya berpendapat, bahwa masyarakat harus jeli untuk memilih pemimpin yang pro terhadap keselamatan rakyat dan lingkungan. Lihat juga latar belakang dan perilaku para Calon selama ini dan siapa pendukung dibelakangnya. Pemimpin yang pro lingkungan tidak akan merusak alam dengan alasan keuntungan semata, seperti tidak akan memberikan izin area konsesi pada perusahaan perusak hutan dan lahan, dan juga akan menindak tegas pelaku pembakaran teruatama oleh korporasi.

Ia juga menantang para calon pemimpin baru di Kalsel untuk berjanji menerapkan kebijakan pro lingkungan apabila terpilih nanti, seperti menaikkan anggaran untuk lingkungan minimal sama dengan sektor pendidikan yaitu 20 % dan dinas khusus yang menagani persoalan lingkungan.

Adapun tanggapan lain dari Pengamat Kebijakan Publik Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad Al Banjary, M Uhaib As'ad, mengaku pesimistis melihat perhelatan pilkada dapat menyelesaikan persoalan lingkungan hidup, termasuk penanganan tata kelola gambut. Ia menyebut pilkada lebih cocok disebut sebagai pasar gelap demokrasi.

Sebagai contoh fenomena borong parpol yang dilakoni para calon petahana dalam menghadapi pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2018 di empat kabupaten yakni Kabupaten Tabalong, Tapin, Hulu Sungai Selatan serta Tanah Laut, makin membuktikan jika demokrasi di Kalimantan Selatan sudah tersandera kepentingan para pemilik modal. Pilkada di Kalimantan Selatan secara umum telah mengarah ke arah pasar gelap demokrasi, sehingga uang yang akan berbicara di atas segalanya.

Selain itu, hampir seluruh calon yang berlaga disponsori oleh kelompok-kelompok pemodal atau oligarki. Praktis, mereka yang terpilih bakal melayani terlebih dahulu kepentingan pemodal, meski harus menggerus aspek-aspek lingkungan hidup.

Alih-alih berharap di Pilkada Kalsel, Uhaib sendiri lebih menyarankan untuk memperkuat kelompok masyarakat sipil, sebagai kelompok yang bisa mendesak pemerintah lebih serius menangani persoalan kebijakan publik.

Ia pun menilai pergerakan dari sipil mesti diperkuat dengan menyatukan organisasi masyarakat lintas sektor, tak lagi tersekat-sekat.  Lagipula menurut dia, Kalsel tak kekurangan lembaga yang ahli di bidang masing-masing dimana ini bisa dimanfaatkan menjadi modal kuat pergerakan.

"Bisa dimulai dari kampus, meski kampus sekarang juga sudah jadi silent majority. Perkuat basis, tanamkan pendidikan kritis terhadap mahasiswa," ujarnya.

Menurut Uhaib, pendidikan kritis dapat ditularkan kepada kelompok-kelompok akar rumput di luar kelompok pelajar. Ia mencontohkan kelompok pelajar, masyarakat lokal dan masyarakat adat dapat saling berkolaborasi untuk melakukan pendampingan terhadap suatu masalah. Dengan demikian diharapkan basis pergerakan masyarakat sipil menjadi lebih kuat dalam menekan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik yang lebih pro terhadap isu-isu lingkungan yang berkelanjutan.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.