Oleh Yohanes Akwan
dari Simpul Jaringan Pantau Gambut

Upaya perlindungan dan restorasi gambut di tanah Papua harus meliputi juga peninjauan ulang terhadap izin-izin konsesi yang terindikasi berada di dalam kawasan gambut. 

Papua adalah tanah yang kaya sumber daya alam, antara lain di bidang kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan energi. Investasi yang terus mengalir dapat membuat sumber daya alam ini lebih bermanfaat bagi masyarakat. Namun, ketegasan pemerintah sangat diperlukan agar pemanfaatan ini tidak merusak lingkungan. Salah satunya adalah dalam hal perlindungan dan restorasi gambut.

Papua merupakan salah satu dari tujuh provinsi yang menjadi prioritas kebijakan restorasi gambut yang digulirkan pemerintah sebagai tanggapan atas kebakaran hutan dan lahan pada 2015. Menurut data dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian pada 2011, luasan gambut di Provinsi Papua mencapai 2.644.438 ha dan di Papua Barat 1.046.483 ha. Luasan tersebut terancam berkurang akibat intervensi manusia. Hingga saat ini 80.000 hektar lahan gambut telah rusak akibat izin-izin usaha perkebunan, pertambangan, dan aktivitas di dalam wilayah hutan yang diterbitkan di dalam kawasan gambut.

Sebagai langkah perlindungan terhadap gambut, pemerintah telah memberikan mandat kepada Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk mengoordinasi kegiatan restorasi. Dalam menjalankan tugas ini, BRG menerapkan tiga pendekatan yaitu pembasahan kembali, revegetasi, dan revitalisasi masyarakat. Sementara itu berdasarkan publikasi BRG yang ditampilkan dalam acara Jambore Masyarakat Gambut akhir bulan April lalu, rencana indikatif restorasi gambut di Papua pada 2018 ini akan dilakukan pada 11 Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) dengan luasan total sebesar 38.753 ha. Selain itu, program DPG di 2018 di Papua akan dilakukan di 5 desa atau kelurahan yang berlokasi di Kabupaten Mappi.

BRG juga menjalankan program Desa Peduli Gambut (DPG), yang juga banyak dilakukan di Papua. Berdasarkan laporan BRG, kegiatan terkait restorasi gambut yang telah dilakukan di Papua adalah penyiapan masyarakat melalui program DPG ini. Pada 2017, kegiatan DPG ini dilakukan di Desa Kaliki, Desa Sumber Mulya, Desa Sumber Rezeki. 

Masyarakat Papua mendukung program nasional restorasi ini karena ekosistem gambut sangat penting dan merupakan sumber bahan pangan pokok seperti pohon sagu serta habitat flora dan fauna asli tanah Papua. Akan tetapi, selain melakukan program DPG dan menargetkan restorasi di KHG-KHG di Papua, sudah saatnya juga pemerintah memperhatikan dan menindaklanjuti adanya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang terindikasi masuk kawasan ekosistem gambut.

Pemerintah, melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah berkomitmen dalam larangan pembukaan lahan gambut. Melalui surat edaran  bagi pimpinan perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI)/Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA)/Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE), serta pimpinan pemegang izin usaha perkebunan, KLHK menjelaskan antara lain bahwa perusahaan-perusahaan pemegang izin tersebut harus melaksanakan penataan ulang atau revisi Rencana Kerja Usaha (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) pengelolaan hutan dan perkebunan. Dengan demikian revisi ini merupakan salah satu bagian dari komitmen pemerintah dalam memastikan bahwa tidak ada lagi lahan gambut yang rusak karena ekspansi industri. Menurut KLHK, hingga saat ini ada 68 perusahaan yang telah mendapatkan persetujuan atas revisi RKU. Namun tidak ada kejelasan apakah ada perusahaan-perusahaan tersebut yang beroperasi di Papua. 

Kami berharap bahwa di sisa 2 tahun masa pemerintahannya Presiden Jokowi dapat merealisasikan kebijakannya. Kami sebagai rakyat masih percaya bahwa rezim ini dapat mewujudkan janji-janji yang telah dibuat.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.