Masihkah Layak Indonesia Disebut Negara Agraris?
Oleh Abil Salsabila dan Yoga AprilliannoDesa Riding dikenal dengan desa yang dikelilingi oleh Gambut dan memiliki kekayaan alam berlimpah. Sebelum tahun 2000 persisnya ketika perusahaan belum masuk, desa itu masih dikelilingi oleh pohon besar rawa gambut seperti Jelutung dan Meranti. Tapi itu dahulu kala. Sekarang desa sudah dikepung oleh perkebunan sawit dan karet. Hidup semakin susah, mencari ikan pun semakin sulit karena sungai dan kanal-kanal mulai kering sepanjang tahun.
Menaiki sepeda ontel kesayangan, Ruslan mengayuhnya selama hampir satu jam hingga tiba di sebuah dermaga kecil yang terbuat dari kayu di ujung desa. Dermaga ini dikenal warga sebagai Pelabuhan Pangkal Jerambah. Dititipkannya sepeda, lalu ia bergegas menaiki sebuah perahu kayu untuk mencari ikan dengan menelusuri sepanjang alur sungai Batanghari yang berada persis di sekitar desanya. Jala, jaring bahkan pancing ia tebar untuk mendapatkan ikan jenis Tebakang, Betok, Keli, Gabus, Toman, Bujuk, dan Tapah. Tak perlu berlama-lama, ikan-ikan yang hidup di air tawar itu pun bisa ia dapatkan dengan mudah.
Menjelang petang hari, waktunya menepi. Ia mendayung perahunya ke arah pelabuhan. Beragam jenis ikan hasil tangkapannya ia turunkan untuk dibawa pulang. Sebagian lainnya dijual pada pengepul dan warga yang telah menanti di bibir sungai. Rutinitas menangkap ikan ia jalani hingga bertahun-tahun lamanya. Waktunya pun tidak menentu, bisa siang ataupun di malam hari. Semuanya tergantung dengan kondisi cuaca, arah angin, dan kondisi terang bulan. Namun kini, semua yang dituturkan itu tinggal kenangan. Ikan sudah menjadi barang mahal bagi warga Desa Riding karena untuk mendapatkannya semakin sulit.
“Dulu, ketika saya masih muda dan belum berkeluarga, hutan rimba dan hutan gambut disini masih sangat lebat. Suasananya begitu asri, apa saja yang ditanam bisa tumbuh dengan cepat dan tidak lama berselang akan menghasilkan panenan yang banyak. Di sini, ratusan pohon berdiameter hingga dua meter masih sangat mudah dijumpai. Bila masuk ke hutan untuk mencari makan, lazim bagi saya dan warga lainnya harus “bertegur sapa” dengan binatang buas seperti Harimau, Gajah, Monyet maupun Siamang.” tutur Ruslan.
Ruslan menikah pada tahun 1965, tepat saat pemerintah sedang gencar menumpas gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di masa itu, warga Riding masih dapat mencari ikan hingga sepikul (100 kg) per hari karena sungai-sungai masih mengalir deras. Ditengah riak kecil Sungai Rasau misalnya, masih banyak terdapat ikan dengan ukuran besar hingga berat belasan kilogram seperti ikan Tapa, Betok, Kepiat ada juga Gabus.
Masyarakat desa Riding sadar betul simbiosis mutualisme antara alam dengan mereka. Mereka menjaga hutan agar tidak ditebang secara serampangan dan tidak juga membakarnya untuk keperluan yang tidak produktif, sehingga alam mampu dijadikan sumber penghidupan. Menurut mereka, sekecil apapun kerusakannya akan berdampak buruk bagi anak cucu dikemudian hari.
Hari terus berganti, warga harus menghadapi kenyataan bahwa hutan yang dulunya begitu lebat perlahan mulai berkurang. Lahan gambut sangat mudah diakses oleh siapapun dan hampir tidak ada yang bisa membatasinya. Bertambahnya jumlah penduduk di Desa Riding menyebabkan aktivitas pembukaan hutan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, Ruslan menilai hal tersebut bukanlah penyebab kerusakan hutan sesungguhnya.
“Seingat saya, awal tahun 2002, benar-benar desa kami mulai berubah. Perlahan tapi pasti rimba dan hutan gambut mulai berubah fungsi. Dulunya sebagai daerah rawa gambut, sekarang sudah menjadi areal perkebunan milik perusahaan swasta. Sungai dan payau yang dulunya tempat kami mencari ikan sekarang sudah berubah menjadi jalan poros, kebun karet, kebun sawit dan tanaman akasia. Sekarang, kami semakin sulit mencari makan dari hutan maupun bekarang, mencari ikan di antara sungai-sungai di tengah rawa gambut” ujar Ruslan.
Duduk di beranda sebuah pondok kayu milik anaknya, Ruslan yang menginjak usia 73 tahun, mencoba kembali mengingat memori masa mudanya puluhan tahun silam. Semua kisah dan peristiwa masih bisa ia sampaikan dengan detail dan rinci. Disela-sela obrolan, seketika tatapannya jadi kosong, diskusi ringan pun sempat terhenti. Ia geram melihat kondisi yang harus dia hadapi kini.
Menghela nafas agak dalam, Ruslan kembali menuturkan apa yang sempat dia rasakan. Untuk membuktikan ucapannya, Ruslan mengajak tim Pantau Gambut untuk menengok sebuah pohon besar yang tergeletak persis di belakang pondok. Dia pun menduduki pohon Meranti yang terlihat menghitam akibat dimakan api pada peristiwa kebakaran hebat tahun 2015 silam. Diameter kayunya mencapai 100 cm dan panjangnya hingga 20 meter. Selain Meranti, di lahan yang sama juga ditumbuhi oleh pohon Perepat, Kecapi, Jelutung, dan Pulai. “Dulu pohon yang lebih besar dari yang saya duduki ini masih banyak tapi sekarang hampir tidak ada lagi,” kata Ruslan.
Arion, Ketua RT 12, Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Ogan Komering Ilir (OKI) sependapat dengan yang disampaikan oleh Ruslan. Ia pun sempat menikmati kemudahan mencari ikan di sekitar desanya. Namun saat ini sungai-sungai seperti Sungai Sindur, Rasau, Muara Bijuku, Rengas Abang, Rengas Kuning, Penyabungan, Setanjung, Damping, Penyajab, Lebak Simpanan, dan Sungai Pangkalan Jerambah semakin dangkal bahkan sebagian besar telah mengering. Akibatnya, warga tidak leluasa lagi menggunakan perahu untuk menjalankan aktifitas sehari-hari. “Setelah masuknya perusahaan-perusahaan itu di sekitar desa, mencari ikan semakin susah, menanam padi hasilnya tidak maksimal karena sawah mengalami kekeringan,” ujarnya.
Hal yang sama diakui oleh Iswadi, 46 tahun yang merupakan Kadus 2 Desa Riding. Menurutnya, peralihan fungsi kawasan rawa, gambut dan sungai menjadi kawasan industri, menyebabkan warga desa Riding yang berjumlah sekitar 4.500 jiwa dalam 1.500 kepala keluarga semakin susah untuk mencari makan.
"Dulunya sebagai tuan tanah, saat ini sebagian besar menjadi buruh tani, buruh pabrik dan pekerja perkebunan" kata Iswadi.
Iswadi mengatakan, saat ini sejumlah perusahaan telah beroperasi di sekitar desanya. Perusahaan tersebut diantaranya PT. Bumi Mekar Hijau (BMH), PT. Bumi Andalas Permai (BAP) dan PT. Sebangun Bumi Andalas (SBA) yang ia ketahui telah beroperasi sejak tahun 2004. Ketiga perusahaan ini menjadi penyedia bahan baku bagi pabrik kertas PT. OKI Pulp and Paper Mills berupa kayu akasia. Selain itu, di sekitar desa juga terdapat perkebunan kelapa sawit yang sedang melaksanakan proses land clearing milik PT. Bintang Harapan Palma (BHP) yang mulai menggarap lahan sejak tahun 2018.