Apa Itu Menu Potensi?

Menu Potensi merupakan fitur dari Peta Gambut yang menampilkan data dan informasi tentang berbagai jenis potensi di atasi lahan gambut. Informasi potensi memuat data dan cerita terkait sebaran komoditas ramah gambut yang bisa dikembangkan oleh masyarakat untuk meningkatkan taraf ekonomi sekaligus menjaga kelestarian lahan gambut.

Hero image chapter 3

Potensi lahan gambut Indonesia

Berdasarkan penelitian yang dikeluarkan oleh Kementrian Pertanian, lahan gambut memiliki potensi yang besar untuk penyediaan lahan pangan. Tanah gambut merupakan tanah yang termasuk dalam ordo histosol, yaitu tanah yang kaya akan material organik dan jenuh air. Potensi lahan gambut dangkal/tipis di Indonesia diperkirakan sekitar 5.241.473 hektare atau 35,17% dari total luas lahan gambut Indonesia, tersebar di Papua (2.425.523 ha), Pulau Sumatera (1.767.303 ha), dan Pulau Kalimantan (1.048.611 ha).

Pertanian di atas lahan gambut

© Liputan 6

Pengelolaan lahan basah

© Media Indonesia

Potensi dan Pengelolaan Gambut Dangkal untuk Tanaman Pangan

Lahan gambut yang tepat digunakan untuk kawasan penyediaan pangan adalah gambut dengan ketebalan <100 cm (<1 meter) menurut arahan Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP). Gambut dangkal atau ketebalan tipis memiliki tingkat kesuburan relatif lebih tinggi dan memiliki resiko lingkungan lebih rendah dibandingkan gambut dalam. Budidaya tanaman pangan di lahan gambut harus menerapkan teknologi pengelolaan air, yang disesuaikan dengan karakteristik gambut dan jenis tanaman. 

Lumpur sungai di gambut

© Detik News

Potensi dan Pengelolaan Gambut Dangkal untuk Tanaman Pangan

Tanah gambut juga bereaksi masam. Untuk menggunakan wilayah gambut dangkal sebagai wilayah budidaya diperlukan adanya upaya ameliorasi. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan pH dari gambut dan memperbaiki media perakaran. Selain itu, potensi adanya pirit atau material organik beracun di atas gambut dapat dihilangkan dengan proses ameliorasi menggunakan amelioran (bahan untuk proses ameliorasi) seperti terak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai.

Upaya pertanian di atas gambut

© Mongabay

Praktik Pertanian Tak Ramah Gambut

Keterbatasan akses dan kemampuan untuk mendapat pupuk atau amelioran membuat petani di daerah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Jambi membakar serasah tanaman dan sebagian lapisan gambut kering sebelum bertanam. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan abu dari serasah yang bisa meningkatkan kesuburan (slash-and-burn). 

Praktik slash-and-burn di atas gambut

© Lampung Pos

Praktik Pertanian Tak Ramah Gambut

Sayangnya, cara ini sangat berbahaya karena dapat memicu kebakaran hutan dan lahan yang luas, mempercepat subsiden, meningkatkan emisi CO2, dan berpotensi mendatangkan asap yang membahayakan kesehatan. Dalam jangka panjang, pembakaran serasah dan lahan gambut harus dihindari dan perlu dicegah untuk menjaga keberlangsungan pertanian di atas lahan gambut. Perlu adanya pemahaman bahwa pertanian di atas gambut bisa dilakukan tanpa adanya praktik pembakaran lahan.

Praktik pembakaran lahan secara disengaja di atas gambut

© Harian Analisa

Pertanian di Atas Gambut

Untuk melakukan pertanian di atas gambut, harus memperhatikan syarat dan ketentuan seperti berikut (Eli N. Sari, WRI Indonesia):

Tidak melakukan konversi dari hutan gambut menjadi lahan pertanian, hutan gambut disini yaitu kawasan lahan gambut yang memiliki fungsi sebagai hutan lindung. Pemanfaatan pertanian di atas lahan gambut hanya bisa dilakukan di lahan budidaya dengan ketebalan gambut dangkal (<1 meter) dan telah dimanfaatkan sebelumnya/lahan terbengkalai.

Pertanian kopi Liberika di atas gambut

© Antara News

Pertanian di Atas Gambut

Praktik budidaya tanaman harus memenuhi kaidah ramah gambut, tidak merusak ekologi gambut dengan tak mengeringkan gambut, tidak membakar lahan gambut, dan tidak mencemari lingkungan.

Pelibatan masyarakat di wilayah gambut, diperlukan adanya transfer pengetahuan, teknologi dan pendampingan.

Paludikultur

Paludikultur berasal dari bahasa Latin “Palus” yang berarti rawa. Menurut publikasi yang dikeluarkan oleh WRI Indonesia, paludikultur adalah budidaya tanaman tanpa drainase di atas lahan gambut yang basah atau telah dilakukan pembasahan dengan memilih spesies rawa asli gambut, yang tidak hanya dapat memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga dapat menghasilkan biomassa (bahan biologis dari tanaman) yang akan berkontribusi pada pembentukan gambut pada jangka panjang. 

Sagu Sentani, Papua

© Pantau Gambut

Paludikultur

Paludikultur dianggap sebagai kegiatan yang cocok untuk dikembangkan di lahan gambut. Contoh spesies paludikultur yaitu sagu dan purun, kedua komoditas itu merupakan contoh komoditas asli lahan gambut yang banyak diusahakan oleh masyarakat setempat untuk berbagai keperluan yang memberikan sumbangan signifikan sebagai mata penghidupan. Karakteristik komoditas asli lahan gambut adalah tanaman tergenang basah dan tidak melalui proses-proses seperti drainase.

Purun di lahan gambut

© Pantau Gambut

Komoditas Paludikultur

Macam-macam komoditas yang masuk ke dalam paludikultur adalah:

Komoditas “Hasil Cepat”, yaitu spesies yang memberikan hasil cepat (tetapi memiliki nilai satuan lebih rendah, walaupun secara keseluruhan memiliki pasar yang mungkin baik). Contoh komoditas: purun (Eleocharis dulcis), kangkung atau bayam air, pare/labu pahit, gambir, pakis). Komoditas komersial yang telah terbukti, yaitu spesies yang sudah memiliki produk dengan nilai komersial yang telah diketahui dan dikenal tumbuh baik pada lahan gambut yang basah atau terbasahi. Contoh komoditas: gaharu, kayu putih atau gelam, sagu, jelutong, gemor).

Budidaya Kenaf di atas gambut

© Tempo

Komoditas Paludikultur

Komoditas komersial yang masih membutuhkan uji hasil, yaitu spesies yang memiliki produk dengan nilai komersial yang diketahui dan ada di hutan rawa gambut alami tetapi hasilnya pada gambut belum diketahui, sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut. Contoh: manggis, rambutan, jambu air, tengkawang atau kacang illipe, kemiri, matoa, salam, dan ketapang. Komoditas lain yang memiliki potensi, tetapi memerlukan studi ekologi dan studi pasar lebih lanjut, terdapat 58 spesies yang harus dilakukan penelitin lebih lanjut. Beberapa contoh komoditas tersebut adalah asam rawa, jelutung, rotan sega.

Jenis-jenis komoditas ramah gambut

Komoditas ramah gambut berbagai macam jenis dan ragamnya. Selain bernilai ekonomi, komoditas ramah gambut seperti tanaman paludikultur juga berguna untuk menjaga kelestarian lahan gambut di ekosistem sekitarnya. Karena tanaman paludikultur merupakan tanaman yang dapat tumbuh di lahan gambut tanpa adanya praktik-praktik yang bisa mengancam gambut seperti praktik pembuatan drainase atau pembakaran lahan dan hutan.

Jelutong © DLHK Banten
Tengkawang (Illipe) © Alchetron
Gelam atau kayu putih © 99.co

Potensi Bisnis Komoditas Ramah Gambut

Selain menjaga kelestarian lahan gambut di wilayah sekitarnya, masyarakat di sekitar gambut juga berusaha untuk memberdayakan potensi komoditas asli lahan gambut. Komoditas asli lahan gambut nyatanya bisa diolah agar memiliki nilai manfaat dan nilai jual yang lebih tinggi sehingga secara tidak langsung juga menjadi peluang bisnis yang potensial. Selain akses pasar yang cukup minim terhadap komoditas ramah gambut, permasalahan terkait pengembangan kapasitas masyarakat untuk menambah nilai produk komoditas juga harus ditingkatkan agar produk-produk komoditas ramah gambut dapat bersaing dan memiliki pasar yang stabil.

Potensi Purun di Pedamaran, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan

Kabupaten OKI memiliki kawasan lahan gambut seluas 640,135.05 hektar, yang merupakan salah satu kawasan gambut terbesar di Sumatera Selatan. Sayangnya, data yang diambil dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di 2019 dan Peta Restorasi Pantau Gambut menunjukkan bahwa sebagian besar lahan gambut di Kabupaten OKI telah dikonversi menjadi hutan tanaman industri (HTI).

Purun untuk kerajinan di Bararawa

© Pantau Gambut

Purun di lahan gambut

© Pantau Gambut

Potensi Purun di Pedamaran, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan

Penggunaan tanaman purun sudah dilakukan oleh komunitas Pedamaran sejak lama dan telah menjadi bagian dari budaya lokal. Data dari Jurnal Analisa Kebijakan Kehutanan di tahun 2017 menunjukkan bahwa ada sekitar 5,400 hektar habitat tanaman purun di OKI. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Mongabay, hampir 90% dari perempuan di Pedamaran bisa menenun tikar.

Potensi Kerbau Rawa Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan

Berdasarkan peta lahan gambut Kementerian Pertanian (2012), Badan Restorasi Gambut (BRG) menemukan adanya 26,367.95 hektar area restorasi lahan gambut jangka panjang di HSU. Penemuan tersebut juga termasuk area gambut kering dan tidak kering di lahan gambut yang dilindungi dan dibudidayakan, serta kawasan terbakar dengan 3,610.92 hektar kawasan prioritas (terbakar dan terkuras). Lebih dari setengah kawasan HSU merupakan bagian dari unit hidrologi gambut, dan penggunaan lahan berbeda berdasarkan kedalaman air.

Kerbau rawa di HSU

© GNFI

Potensi Kerbau Rawa Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan

Berdasarkan koleksi data di 2019, ada sekitar 8,000 kerbau rawa yang hidup di utara Hulu Sungai. Sedangkan data dari Badan Pusat Statistik di 2020 menunjukkan adanya peningkatan jumlah kerbau rawa menjadi 9,042 ekor. Populasi kerbau rawa yang tinggi dipengaruhi oleh masyarakat yang menjadikan kegiatan ternak kerbau rawa sebagai sumber penghasilan alternatif selain pertanian, perikanan, dan kerajinan. Sebagian besar petani kerbau rawa memanfaatkan momentum liburan perayaan untuk menjual ternak mereka dengan harga yang kompetitif.

Potensi Anyaman Purun Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan

Pengembangan komoditas usaha di HSU menyediakan peluang tambahan bagi perkembangan komoditas gambut lokal. Salah satu pelaku usaha dalam perkembangan kerajinan tangan purun adalah usaha Kembang Ilung yang dikelola oleh Bapak Sopianor di Desa Banyu Hirang. Saat ini, Kembang Ilung bisa memproduksi 500 produk kerajinan tangan purun setiap bulan. Namun, pengembangan kapasitas komunitas lokal masih diperlukan untuk meningkatkan usaha ke tingkat yang lebih tinggi.

Hasil kerajinan anyaman purun di Desa Banyu Hirang

© Clorinda Wibowo/WRI

Hasil kerajinan anyaman purun di Desa Banyu Hirang

© Metro 7

Potensi Serat Daun Nanas, Kabupaten Siak, Riau

Kawasan kabupaten Siak memiliki luas sekitar 856,176 hektar, dan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) luas kabupaten Siak adalah 858,092 hektar. Lahan gambut merupakan ekosistem dominan di kabupaten Siak. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2012), lebih dari setengah (57.3%) dari kabupaten Siak adalah lahan gambut (490,671 hektar).

Nanas di Kecamatan Sungai Apit, Siak

© ASYX

Potensi Serat Daun Nanas, Kabupaten Siak, Riau

Kecamatan Sungai Apit merupakan salah satu produsen nanas terbesar di kabupaten Siak dan provinsi Riau. Luas kawasan tanam dan panen perkebunan nanas di kecamatan Sungai Apit tercatat di 1,312.50 hektar dan 1,125.50 hektar. Hasil produksi mencapai 29,263 ton/ha. Penggunaan serat daun nanas juga memiliki rantai nilai yang bisa diintegrasikan ke dalam industri besar seperti industri tekstil maupun kerajinan tangan.

Pertanian nanas di Kecamatan Apit, Siak

© Riau Online

Potensi Paludikultur dan Pariwisata di Teluk Bintuni, Papua

Lahan gambut di Kabupaten Teluk Bintuni dengan luas  434.997,69 ha tersebar di Distrik Aranday, Distrik Bintuni, Distrik Kaitaro, dan Distrik Babo.Analisis pengembangan potensi komoditas lokal di Kabupaten Teluk Bintuni melalui sektor pariwisata dilakukan berdasarkan salah satu arah pengembangan Kabupaten Teluk Bintuni yang tertuang dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintuni Tahun 2012-2032.

Cagar Alam Teluk Bintuni

© Celebes.co

Potensi Paludikultur dan Pariwisata di Teluk Bintuni, Papua

Fokus pengembangan wisata di Teluk Bintuni pun dirancang berdasarkan pada atraksi berbasis alam dan budaya. Teluk Bintuni memiliki dua cagar alam; Cagar Alam Teluk Bintuni dan Cagar Alam Wagura Kote, kawasan bakau, pantai pasir, Danau Tanimot-Weriagar, dan beberapa atraksi alam lainnya. Dengan menjadikan Teluk Bintuni sebagai “Jembatan Wisata” (dijelaskan lebih lanjut pada Analisis Awal Ekosistem Pariwisata), hal ini akan mendorong pengelolaan komoditas lokal khususnya perikanan dan bakau secara lebih terstruktur dari hulu ke hilir.

Potensi Perikanan di Teluk Bintuni, Papua

Hutan bakau Kabupaten Teluk Bintuni dengan luas 255.971 ha atau sekitar 53,4% dari total keseluruhan luas hutan bakau Kabupaten Papua Barat menyimpan begitu banyak keanekaragaman komoditas yang dapat diidentifikasi dan dikelola pemanfaatannya bagi masyarakat. 

Masyarakat di sekitar Teluk Bintuni bermata pencaharian sebagai nelayan

© Akurat News

Potensi Perikanan di Teluk Bintuni, Papua

Berdasarkan pengumpulan data awal, beberapa komoditas perikanan di hutan bakau Teluk Bintuni yang telah teridentifikasi antara lain adalah kepiting bakau (Geryonidae), udang jerbung (Penaeidae), ikan kakap (Sciaenidae), dan tanaman bakau.

Potensi hasil laut di Teluk Bintuni

 

© Warta Ekonomi