Apa itu menu Ancaman?

Menu Ancaman merupakan fitur dari Peta Restorasi yang menampilkan data dan informasi tentang jenis-jenis ancaman yang terjadi di lahan gambut. Informasi ancaman tersebut ditampilkan melalui visualisasi peta, data-data geospasial, dan narasi cerita. Menu ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ketika berbicara tentang ancaman terbesar yang terjadi di lahan gambut.

Hero image chapter 2

Apa saja ancaman yang ada di atas lahan gambut?

Ancaman di lahan gambut yang paling sering terjadi adalah alih fungsi lahan yang dilakukan dengan cara penebangan, pengeringan, dan pembakaran. Kegiatan-kegiatan tersebut akan menyebabkan degradasi lahan gambut sehingga melepaskan emisi karbon ke udara.

Penebangan hutan di lahan gambut di Kalimantan © CIFOR - GCS Kalimantan Fieldtrip, 2014
Pengeringan lahan gambut fandiadhitya.web.ugm.ac.id (2015) © Greenpeace
Pembakaran hutan di lahan gambut di Kalimantan © CIFOR - Fire and Haze, Kalimantan, Indonesia

Penebangan di atas lahan gambut

Penebangan di atas lahan gambut dapat dilihat melalui data tree cover loss atau hilangnya tutupan pohon, yang terindikasi dari hilangnya tajuk kanopi pohon. Data ini dapat digunakan sebagai indikasi adanya pembukaan lahan.

Tree Cover Loss Lahan Gambut di Indonesia

Global Forest Watch

Pengeringan lahan gambut

Area gambut yang sudah terbuka biasanya dikeringkan dengan cara membuat kanal atau saluran air yang membuat lahan gambut menjadi kering dan siap untuk ditanami tanaman monokultur seperti kelapa sawit maupun akasia.

Pengeringan lahan gambut dengan pembuatan kanal

© Pantau Gambut

Sekat kanal dan sumur bor

Gambut yang sudah terdegradasi seharusnya direstorasi kembali. Hal ini bahkan dimandatkan oleh pemerintah lewat peraturan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016. Kegiatan restorasi gambut diawali dengan pembasahan kembali lahan gambut dan penanaman kembali vegetasi asli gambut. Beberapa infrastruktur yang dibangun untuk meninjau restorasi lahan gambut adalah sekat kanal dan sumur bor.

Sekat kanal

© Pantau Gambut

Sumur bor

mediacenter.palangkaraya.go.id (2019) © Isen Mulang

Siapa saja yang terdampak dari adanya kerusakan gambut?

Kita semua terdampak dari kerusakan gambut, walaupun masyarakat lokal yang tinggal di sekitar lahan gambut menghadapi ancaman yang lebih dekat dan nyata seperti banjir, pencemaran tanah, dan pencemaran udara. 

Namun, walau kita tidak tinggal di dekat lahan gambut, kerusakan gambut juga mengancam kita karena hilangnya habitat dan ruang hidup flora dan fauna, terlepasnya emisi karbon ke atmosfer, yang akhirnya berdampak pada krisis iklim.

Lepasnya emisi karbon dan menurunnya biomassa di gambut yang rusak akibat konversi lahan © CIFOR - Fire and Haze, Kalimantan, Indonesia
Terancamnya fauna endemik yang ada di atas lahan gambut © CIFOR - Indonesian Peatlands
Terganggunya aktivitas masyarakat adat akibat pencemaran udara © CIFOR - Fire and Haze, Kalimantan, Indonesia

Terlepasnya emisi karbon dan biomassa di atas gambut

Konversi lahan gambut menjadi perkebunan komoditas vegetasi monokultur, seperti kelapa sawit dan akasia, mengakibatkan terlepasnya emisi karbon di dalam gambut serta berkurangnya biomassa di atas gambut.

Selama periode 1985-2000 sebanyak 20% atau rata-rata sebesar 1,3% per tahun hutan gambut alam ditebang dan/atau dikonversi untuk penggunaan lain seperti konsesi tanaman industri dan kelapa sawit sebesar 47.932 km² atau seluas 6190 kali luas lapangan sepak bola. 

Dalam periode 18 tahun terakhir, akibat pengeringan lahan gambut diperkirakan rata-rata 632 Mt CO2 (interval 355-874 Mt CO2 tiap tahun) terlepas ke atmosfer setara dengan 71.115 liter pemakaian bensin.

Sisa pembakaran lahan gambut

© CIFOR - Fire and Haze, Kalimantan, Indonesia

Terlepasnya emisi karbon dan biomassa di atas gambut

Efek dari lepasnya emisi karbon dan adanya penurunan biomassa dalam jangka panjang adalah peningkatan suhu bumi, yang mengubah ekosistem dunia.

Mari eksplorasi lebih lanjut dampak kerusakan lahan gambut terhadap pelepasan emisi karbon dan penurunan biomassa!

CO2 di udara akibat kebakaran hutan

© CIFOR - Fire and Haze, Kalimantan, Indonesia

Terganggunya aktivitas masyarakat akibat dampak kerusakan gambut

Masyarakat di sekitar kawasan gambut adalah mereka yang terdampak langsung dari bencana yang terjadi di lahan gambut. Beberapa di antaranya adalah banjir atau kabut asap yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan pada musim kemarau.

Kabut asap membuat kualitas udara semakin buruk dan meningkatkan kasus penyakit seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) karena adanya kandungan partikel PM 2.5 dan PM 10* di kabut asap. Salah satu kasus yang paling parah adalah pada saat kebakaran di provinsi Jambi pada  2019, di mana langit Jambi berubah berwarna merah selama pukul 11.00-13.00 WIB. 

Kabut asap membuat kualitas udara memburuk

© CIFOR - Fire and Haze, Kalimantan, Indonesia

Terganggunya aktivitas masyarakat akibat dampak kerusakan gambut

Selain pencemaran udara,  banjir adalah bencana lain yang mengancam masyarakat di sekitar lahan gambut yang rusak. Salah satu peristiwa banjir akibat kerusakan lahan gambut terjadi di Kalimantan Selatan pada tahun 2021.

Kedua bencana ini menunjukkan bahwa bencana lahan gambut berdampak signifikan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut, bukan terhadap orang-orang yang melakukan aktivitas degradasi.

Banjir di Kalimantan Selatan

pantaugambut.com (2021) © Agus R.

Terancamnya biodiversitas di atas kawasan gambut

Berbagai jenis flora endemik atau tanaman paludikultur yang tinggal di kawasan gambut meliputi gelam, ramin, meranti dan damar. Sayangnya, kini jumlah tanaman endemik ini semakin berkurang karena tanaman endemik ini kehilangan habitat mereka. 

Kalau lahan gambut rusak, maka fauna pun terancam punah. Kerusakan habitat itu memicu perburuan fauna endemik yang tersisa, karena makin bernilai eksotis. 

Telusuri persebaran flora dan fauna gambut di dalam peta.

Ragam tanaman di atas lahan gambut

© CIFOR - Indonesian Peatlands

Wilayah non-berizin vs wilayah berizin di atas lahan gambut

Wilayah berizin (wilayah konsesi) adalah wilayah di atas lahan gambut yang izin peruntukkan lahannya telah diberikan oleh pemerintah kepada individual atau organisasi dalam kurun waktu tertentu.

Sedangkan wilayah non-berizin (wilayah non-konsesi) merupakan wilayah yang peruntukannya dikelola oleh pemerintah.

Luas wilayah gambut berdasarkan status konsesi

Wilayah non-berizin vs wilayah berizin di atas lahan gambut

Hasil analisis Pantau Gambut menunjukkan 39% atau sekitar 5,2 juta hektare dari 13,43 juta hektare luasan lahan gambut Indonesia merupakan wilayah kerja korporasi di bidang kehutanan ataupun perkebunan. Sedangkan luas wilayah non-berizin di lahan gambut Indonesia adalah sebesar 8.23 juta hektare.

Luasan wilayah gambut

Total luasan 13,403,583.29 Ha
Non-berizin 8,204,514.44 Ha
Berizin 5,199,068.85 Ha

Komitmen dan regulasi perlindungan lahan gambut di Indonesia

Wilayah non-berizin di atas lahan gambut dan siapa yang bertanggung jawab?

Wilayah non-berizin di atas kawasan lahan gambut Indonesia merupakan wilayah di luar konsesi yang izinnya dipegang oleh pemerintah. hal ini berarti Pemerintah, yang diwakili oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan bantuan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), bertanggung jawab untuk melakukan aktivitas implementasi restorasi.

Kementrian Lingkungan Hidup & Kehutanan (KHLK)

Badan Restorasi Gambut (BRG)

Wilayah non-berizin di atas lahan gambut dan siapa yang bertanggung jawab?

Pada masa pemerintahan Joko Widodo, pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan beberapa peraturan untuk restorasi lahan gambut.

Komitmen ini kemudian diperpanjang di tahun 2020 lewat Perpres Nomor 120 tahun 2020 dengan target restorasi untuk wilayah non-berizin sebesar 1,2 juta hektare.

Sektor restorasi gambut

  1. 1,78 juta hektare di atas wilayah perkebunan
  2. 400 ribu hektare di atas kawasan budidaya tak berizin
  3. 491 ribu hektare di kawasan lindung
  4. 892 ribu hektare di wilayah non-berizin

Bagaimana metode yang digunakan untuk melakukan pemantauan?

Pemantauan di wilayah non-berizin bertujuan untuk memverifikasi kondisi lapangan wilayah berizin (konsesi) telah melakukan implementasi restorasi di wilayah tersebut.

Dalam melakukan investigasi di wilayah non-berizin, indikator berikut adalah acuan dalam menentukan apakah ada pelanggaran di atas wilayah berizin tersebut.

Indikator Pemantauan

  1. Titik panas yang memiliki konfidensi tinggi (menggunakan data hotspot VIIRS NOAA)
  2. Implementasi restorasi (infrastruktur sekat kanal dan sumur bor), berdasarkan data yang didapatkan dari Rencana Kontijensi/Rencana Tindak Tahunan BRG tahun 2017-2018

Bagaimana metode yang digunakan untuk melakukan pemantauan?

Pemantauan yang dilakukan oleh Tim Pantau Gambut didasarkan pada sampel yang didapatkan dengan menggunakan analisis spasial dan teknologi penginderaan jauh.

Pemilihan sampel yang digunakan untuk diversifikasi lapangan untuk pemantauan non-konsesi didasarkan pada sebaran titik-titik rencana implementasi restorasi yang dikeluarkan oleh BRG serta interpretasi visual di kawasan yang memiliki klaster titik panas signifikan.

Tim pantau gambut melakukan survei di Bararawa, Banjarmasin

© Photos Bararawa Purun

Dampak dari ancaman di atas lahan gambut

Bentuk-bentuk ancaman seperti pengeringan lahan yang menyebabkan gambut rentan terbakar maupun konversi lahan memiliki dampak signifikan terhadap lahan gambut. 

Pada akhirnya ini akan menyebabkan degradasi lahan gambut seperti subsidensi (penurunan muka air tanah). Karena itu masyarakat maupun pemerintah daerah memiliki peran penting untuk melakukan restorasi kawasan gambut di wilayah yang tidak berizin untuk mengurangi kerusakan yang ditimbulkan dari ancaman-ancaman tersebut.

Restorasi di atas lahan gambut

© CIFOR - Indonesian Peatlands

Bagaimana metode yang digunakan untuk melakukan pemantauan?

Tim Simpul Jaringan Pantau Gambut di dua provinsi telah melakukan pemantauan terhadap wilayah-wilayah non-berizin yang terindikasi adanya ancaman-ancaman tersebut.

Eksplor peta untuk tahu lebih lanjut wilayah-wilayah non berizin yang teridentifikasi adanya ancaman-ancaman terhadap lahan gambut.

Survei hutan gambut di Kalimantan

© CIFOR - GCS Kalimantan Field Trip, 2014

Wilayah berizin di atas lahan gambut

Kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut yang dilakukan oleh individu dan korporasi atau pemegang usaha dalam kawasan hutan (IUPHHK-Hutan Alam, IUPHHK-Hutan Tanaman Industri dan IUPHHK-Restorasi Ekosistem) dan perkebunan (kelapa sawit). Izin ini diterbitkan oleh otoritas terkait, yaitu pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.

Hasil analisis Pantau Gambut menunjukkan 39% atau sekitar 5,2 juta hektare dari 13,43 juta hektare luasan lahan gambut Indonesia merupakan area kerja korporasi di bidang kehutanan ataupun perkebunan.

Persentase wilayah berizin di atas lahan gambut

Siapa yang bertanggung jawab?

Wewenang supervisi kegiatan restorasi gambut area konsesi, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Restorasi Gambut (BRG)

KLHK fokus mengawasi kegiatan restorasi konsesi kehutanan yang berada di kawasan hutan. Sedangkan BRG bekerja sama dengan Kementerian Pertanian untuk supervisi area perkebunan, khususnya kelapa sawit.

Hutan lindung di Kalimantan © CIFOR - Fire and Haze, Kalimantan, Indonesia
Hutan kelapa sawit di atas lahan gambut, Papua © Raras Cahyafitri

Metode pemantauan

Monitoring di wilayah berizin bertujuan untuk memverifikasi kondisi lapangan apakah wilayah berizin (konsesi) melakukan implementasi restorasi di dalam wilayah izinnya.

Dalam melakukan investigasi di wilayah berizin, indikator dijadikan acuan dalam menentukan adanya pelanggaran di atas wilayah berizin tersebut.

Pemantauan dilakukan dengan menggunakan analisis spasial dan penginderaan jauh serta verifikasi lapangan

Metode penentuan sampel ditentukan dengan menggunakan random sampling terhadap area konsesi dengan indikator. Titik-titik sampel dikelompokkan kemudian diverifikasi menggunakan citra resolusi tinggi dan divalidasi saat investigasi lapangan.

Indikator pemantauan

  1. Areal terbakar (burned area)
  2. Hilangnya tutupan pohon sebagai indikasi deforestasi (Tree Cover Loss) di atas Fungsi Ekosistem Gambut (FEG) lindung
  3. Titik implementasi restorasi (infrastruktur sekat kanal dan sumur bor), berdasarkan data yang didapatkan dari Rencana Kontijensi/Rencana Tindak Tahunan BRG tahun 2017-2018

Peran sektor swasta

Bentuk-bentuk ancaman seperti pengeringan gambut sehingga rentan terbakar maupun aktivitas konversi lahan akan berdampak signifikan terhadap lahan gambut. Lebih jauhnya akan ancaman ini akan mengakibatkan degradasi lahan gambut seperti subsidensi (penurunan muka air tanah).

Peran sektor swasta yang mengelola lahan gambut di wilayah berizin menjadi krusial karena mereka harus melaksanakan kegiatan restorasi di wilayah gambut tersebut. Selain itu mereka juga dilarang untuk membuka wilayah FEG lindung untuk kegiatan ekstraksi.

Tim Simpul Jaringan Pantau Gambut di 7 provinsi yang memiliki lahan gambut di Indonesia melakukan pemantauan terhadap wilayah-wilayah berizin yang terindikasi melakukan pelanggaran di atas wilayah konsesinya.

Pemantauan wilayah restorasi di atas lahan gambut

© CIFOR - Indonesian Peatlands

Program Food Estate di Indonesia

Pemerintahan Joko Widodo berencana membuka kawasan food estate di beberapa provinsi. Rencana itu bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagai respons dari Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) terkait ancaman krisis pangan di Indonesia.

Provinsi pertama proyek food estate di Kalimantan Tengah di kawasan bekas Pengembangan Lahan Gambut (PLG). Lokasi itu untuk pencetakan sawah baru. Pemerintah juga merencanakan food estate di Kalimantan Barat, Sumatra Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Merauke.

Kalimantan Tengah

© CIFOR

Program Food Estate di Indonesia

Pemerintah berharap kawasan food estate menjadi lokasi untuk produksi skala besar terhadap komoditas yang dianggap mampu mendukung ekonomi nasional dan menjaga ketahanan pangan. Komoditas pangan itu, padi, singkong, dan berbagai tanaman hortikultura. Padahal jika melihat data dan fakta terkait kondisi ketahanan pangan Indonesia saat ini, food estate tidak menjawab permasalahan.

Untuk mengetahui apa itu program food estate dan perkembangannya, silakan kunjungi microsite Food Estate, Kenapa buru-buru?.

Food estate tidak menjawab krisis pangan

© CIFOR

Food estate di lahan gambut

Detail lokasi food estate belum diketahui secara pasti. Namun, di Kalimantan Tengah, lokasi food estate untuk pencetakan sawah baru terindikasi berada di atas kawasan bekas Proyek Lahan Gambut (PLG). Kawasan bekas PLG merupakan area yang 64 persen  luasnya berupa Fungsi Ekosistem Gambut (FEG) Lindung atau sekitar 883.000 hektare.

Lahan yang memiliki fungsi ekosistem gambut lindung tidak boleh dimanfaatkan untuk kawasan pertanian maupun perkebunan. Hal itu dikhawatirkan akan membuat gambut menjadi tidak ideal dan rawan terdegradasi, karena adanya kubah gambut. Pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian hanya boleh dilakukan di kawasan fungsi ekosistem gambut budi daya. Pengelolaan komoditas pun dilakukan harus ramah ekosistem, seperti paludikultur dan praktik yang tidak membuat gambut makin terdegradasi.

Lahan gambut di Kalimantan

© CIFOR

Apa saja ancaman pembukaan food estate di lahan gambut?

Pembukaan program food estate secara terus-menerus akan merusak kawasan ekosistem gambut, termasuk area yang sudah dilakukan restorasi.

Ancaman yang terjadi berupa:

  • Pembukaan lahan di kawasan hutan lindung dan konservasi
  • Perubahan tutupan lahan di kawasan fungsi ekosistem gambut lindung
  • Kebakaran wilayah gambut akibat kekeringan, karena pembuatan drainase untuk pertanian
Pembukaan Lahan untuk Food Estate (Program Bekas PLG 1997)
Perubahan Tututpan Lahan Menjadi Tanaman Monokultur (MIFEE, 2010-2020)
Dokumentasi Kebakaran Bekas PLG Kalimantan Tengah 1997 (Kompas)

No-Go Zone kawasan bekas PLG

No-go zone adalah peta indikatif kawasan gambut konservasi yang harus dilindungi dan terhindar dari proyek food estate

Indikator kawasan gambut yang harus dihindari untuk proyek food estate:

  • Lahan gambut kedalaman  di atas 1 meter
  • Lahan gambut dengan vegetasi hutan (primer dan sekunder)
  • Lahan gambut dengan fungsi lindung

Pemantauan proyek food estate di No-Go Zone

Pemantauan food estate menggunakan metode yang sistematis dan terstruktur. Pemantauan dilakukan memanfaatkan data titik peringatan (alerts) kehilangan tutupan pohon dan indikasi deforestasi Global Analysis and Discovery (GLAD) alert maupun Radar for Detecting Deforestation (RADD) alert.

Selain itu, juga dimanfaatkan data areal terbakar (burned area) dalam periode yang sama dengan indikasi deforestasi atau hilangnya tutupan pohon. Itu untuk menentukan prioritas area pemantauan.

Metode pemantauan

  1. Pemilihan lokasi pantau (Area of Interest/AOI)
  2. Identifikasi parameter pemantauan food estate di no-go zone
  3. Prioritas area pemantauan yang teridentifikasi
  4. Verifikasi desktop dengan citra resolusi tinggi

Potensi pemantauan area No-Go Zone

Berdasarkan hasil pemantauan berkala oleh WRI Indonesia terhadap aktivitas di area no-go zone, ditemukan kategori yang dominan dilakukan di kawasan tersebut. Ketiga aktivitas itu diklasifikasikan menjadi empat kelas risiko berdasarkan bobot risiko yang bisa timbul jika terus dilanjutkan.

Kategori aktivitas dominan

  1. Aktivitas pembukaan untuk kawasan pertanian atau perkebunan
  2. Aktivitas pembukaan untuk kawasan non-pertanian atau non-perkebunan
  3. Kebakaran

Potensi pemantauan area No-Go Zone

Risiko sangat tinggi, jika pembukaan lahan terjadi di area no-go zone dengan klasifikasi hutan gambut.

Risiko tinggi, jika pembukaan lahan terjadi di area no-go zone dengan klasifikasi gambut (tidak berhutan) atau wilayah hutan (di tanah mineral).

Risiko sedang, jika pembukaan lahan terjadi di area no-go zone dengan klasifikasi tanah mineral yang berada dalam fungsi ekosistem gambut lindung.

Risiko rendah, jika data pembukaan yang diverifikasi citra satelit resolusi tinggi adalah false positive atau delayed response

Telusuri Peta untuk memantau perkembangan program food estate di area no-go zone bekas Proyek Lahan Gambut (PLG), Kalimantan Tengah.