Walau hanya menutupi sekitar 3% dari luas lahan di seluruh dunia, lahan gambut memiliki kemampuan menyimpan karbon yang paling tinggi dibandingkan dengan jenis lahan dan vegetasi apapun. Lahan gambut yang masih dalam kondisi mendekati alami dapat menyimpan hingga lebih dari 550 gigaton karbon atau 42% dari semua karbon yang tersimpan di tanah. Di Indonesia sendiri, luas lahan gambut mencapai 13,43 juta hektare (BBSDLP, 2019) dan diperkirakan dapat menyimpan hingga 57.4 gigaton karbon (Page et al., 2010).
Meski demikian, pengalihanfungsian lahan gambut menjadi area perkebunan dan industri masih terus terjadi. Kebanyakan alih fungsi ini menggunakan metode pengeringan, pembakaran, dan deforestasi sehingga melepaskan cadangan karbon di gambut ke atmosfer. Selain itu, gambut yang terdegradasi akan menjadi kering dan mudah terbakar sehingga memperparah intensitas cadangan karbon yang lepas ke atmosfer.
Sebagai ilustrasi, pembakaran lahan gambut untuk dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit diperkirakan dapat melepaskan hingga 427,2 ton karbon setiap hektare. Maka, tak heran jika total emisi karbon dari lahan gambut yang terdegradasi diperkirakan mencapai 63% dari total emisi karbon dunia.
Kebakaran di lahan gambut juga akan melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer seperti metana (CH4), yaitu jenis gas rumah kaca yang 21 kali lebih berbahaya daripada karbon dioksida (CO2) karena kemampuan menahan panas yang lebih tinggi. Tidak hanya lebih berbahaya, metana yang terlepas akibat dari kebakaran lahan gambut jumlahnya bisa mencapai hingga 10 kali lipat lebih banyak daripada kebakaran di jenis lahan lain.
Gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer akan menahan panas dari matahari sehingga meningkatkan suhu bumi. Proses yang dikenal sebagai efek rumah kaca ini dapat mempercepat laju perubahan iklim. Oleh sebab itu, melindungi dan mencegah kerusakan lahan gambut menjadi sangat penting dalam upaya pencegahan perubahan iklim.