Masyarakat yang tinggal di sekitar gambut sangat bergantung pada lahan gambut untuk melakukan berbagai kegiatan ekonomi seperti pertanian tanaman pangan dan budi daya ikan. Beberapa spesies ikan air tawar bernilai ekonomi tinggi yang dikembangkan di wilayah gambut seperti gabus, toman, jelawat, tapah, patin siam, lele dumbo, dan nila.
Kegiatan budi daya tanaman di atas lahan gambut dapat memberikan manfaat ekonomi, namun pelaksanaannya harus tetap memperhatikan kaidah-kaidah ramah gambut.
Beberapa jenis tanaman bernilai ekonomi tinggi yang dapat tumbuh baik di lahan gambut tanpa perlu mengeringkan lahan gambut dengan drainase disebut dengan tanaman paludikultur. Contoh tanaman paludikultur adalah purun (Eleocharis dulcis), kangkung atau bayam air (Ipomoea aquatica), gaharu (Aquilaria beccariana), sagu (Metroxylon sagu), kayu putih (Melaleuca cajuputi).
Purun sebagai salah satu jenis tanaman paludikultur merupakan tanaman jenis rumput teki-tekian. Masyarakat yang tinggal di lahan gambut seperti di Ogan Komering Ilir memiliki tradisi menganyam purun untuk dijadikan tikar, topi, keranjang, tas, bakul, dan lain-lain.
Pengeringan lahan gambut dapat menggangu ketersediaan air bagi masyarakat sekitar sehingga mereka tidak bisa lagi beternak ikan atau mendapatkan pasokan air yang cukup di musim kemarau. Sebaliknya, pengeringan gambut juga mengakibatkan hilangnya daerah resapan air dan dapat mengakibatkan bencana banjir di area pemukiman sekitar gambut pada saat musim hujan.
Selain itu, pengeringan lahan gambut juga menyebabkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran di musim kemarau. Ketika kebakaran gambut terjadi, maka asapnya akan mengganggu kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut, di luar lahan gambut, bahkan sampai ke negeri tetangga. Kejadian seperti ini menghambat masyarakat sekitar gambut untuk melakukan aktivitas sehari-hari termasuk mencari nafkah.