Oleh Zamzami Arlinus
dari PantauGambut.id

Trauma warga di Desa Api-api dan Desa Batang Duku terhadap kebakaran hutan dan gambut pada tahun 2015 mendorong mereka untuk menghasilkan peraturan desa yang mengatur pengelolaan tata air, pengendalian karhutla, dan perlindungan sumber daya alam.

Kebakaran hebat pada musim kemarau yang diperparah oleh el-nino di tahun 2014-2015 lalu membuat warga dua desa di Kecamatan Bandar Laksamana dan Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis, Riau trauma. Desa Api-api dan Desa Batang Duku di kecamatan tersebut merupakan sebagian kecil dari puluhan desa di pesisir utara Riau yang lahan gambutnya terbakar.

Akibatnya, hampir setiap hari warga kedua desa terpaksa menghirup kabut asap beracun. Kesehatan masyarakat menjadi tumbal, terutama para warga lanjut usia, ibu hamil dan anak-anak. Tidak hanya itu, kebakaran hutan dan lahan gambut juga menghanguskan segi ekonomi, sosial dan lebih buruk lagi ekologi, karena letak desa berdekatan dengan Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil yang merupakan hamparan gambut. Tak ingin terjebak dalam bencana yang sama, masyarakat pun belajar tentang karakteristik gambut yang sudah rusak, kering, dan akhirnya mudah terbakar.

Pengelolaan lahan gambut dan hutan memang menuntut kebijaksanaan. Selain kebakaran hutan, selama ini masyarakat setempat juga menghadapi banjir pada musim hujan. Air bah melanda akibat penggalian kanal-kanal gambut oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan seperti Hutan Tanaman Industri (HTI).

“Selama ini banyak lahan gambut dan airnya dikuasai perusahaan. Pengaturan air gambut ketika kemarau dan penghujan juga hanya dilakukan oleh perusahaan. Tidak ada koordinasi antara perusahaan dengan warga terkait dengan buka-tutup pintu kanal. Sehingga masyarakat hanya jadi korban ketika kebakaran dan banjir,” kata Usman Affandi Batubara, staf komunikasi LSM Kaliptra, Rabu (8/8/2018).

Nihilnya solusi dari korporasi membuat warga desa bergerak bersama mencari pemecahan masalah. Dengan didampingi oleh LSM Kaliptra bersama Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), warga berdiskusi untuk menyusun peraturan desa di rumah kepala desa setempat. Keesokannya, 12 September 2017, buah diskusi santai tersebut dilanjutkan dalam forum diskusi yang lebih serius di balai desa dengan kehadiran seluruh elemen masyarakat. Dalam pembahasan warga menyadari bahwa desa mereka sangat rentan terhadap bencana karhutla pada musim kemarau, dan banjir di musim hujan. Selain itu, terungkap pula bahwa muara kanal gambut yang dibuat oleh perusahaan di tepi laut dipenuhi limbah kayu perusahaan.

Belum genap sepekan, hasil diskusi telah terbit sebagai Peraturan Desa Nomor 7 tahun 2017 tentang Pengelolaan Tata Air, Pengendalian Karhutla serta Pemanfaatan dan Perlindungan Sumber Daya Alam. Menariknya, dalam Bab VII pasal 9 diatur sanksi bagi individu yang aktivitasnya mengganggu tata air gambut dan tidak melindungi sumber daya alam sehingga menyebabkan kebakaran dan kerusakan ekologi serta hidrologi gambut. Sanksi tersebut berupa denda sebesar Rp 20 juta dan mengganti kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian tersebut secara kekeluargaan.

“Perdes juga menyebut sanksi pidana sesuai dengan perundang-undangan (red: perundang-undangan di tingkat nasional). Sementara bagi pihak perusahaan, sanksi jauh lebih berat yakni Rp 500 juta ditambah dengan nilai kerugian yang diakibatkannya. Bahkan pemerintah desa bisa mengusulkan pencabutan izin,” kata Fandi.

Perdes serupa juga diterbitkan oleh Pemerintah Desa Batang Duku, Kecamatan Bukit Batu, yang masih satu kawasan dengan Desa Api-Api. Syafri, Kepala Desa Batang Duku, mengakui bahwa tahun 2014 dan 2015 kebakaran hutan gambut di desanya cukup banyak. Namun setelah mereka belajar tentang penyebab kebakaran dari pengeringan gambut, banyak kemajuan yang diperoleh masyarakat.

“Ya, tahun 2014 dan 2015 ada kebakaran hutan di desa kami. Tapi syukur alhamdulilah tahun 2017 tidak ada kebakaran hutan dan lahan terutama di sekitar sekat kanal dan embung air yang kita bangun. Pada awal tahun sempat ada kebakaran. Tapi karena ada embung, api tidak sempat meluas,” kata Syafri, Kepala Desa Batang Duku, Senin (13/8/2018).

Sayangnya, sosialisasi peraturan desa tersebut terbatas hanya ke masyarakat. Padahal perusahaan di sekitarnya juga perlu dijangkau, karena pengeringan gambut terjadi bukan saja akibat aktivitas pertanian masyarakat tetapi juga perusahaan yang skalanya bahkan lebih masif.

“Sulit komunikasi dengan mereka. Karena mereka menutup diri.  Cuma sampai saat ini, kebakaran bisa kita cegah. Kita sudah sosialisasi ke masyarakat yang berkebun dan bercocok tanam. Di sini ada perusahaan Surya Dumai Agrindo,” ujar Syafri.

Selain menerbitkan perdes, warga Desa Batang Duku telah membangun sedikitnya enam embung dan tujuh sekat kanal pada tahun ini. Syafri mengaku bahwa perdes dan pembangunan embung serta sekat kanal cukup efektif menghadang kebakaran hutan. Desa Api-api dan Desa Batang Duku hendaknya menjadi contoh bagi desa lain untuk segera menerbitkan peraturan desa yang mengatur pengelolaan gambut secara lestari.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.